Teruntuk Tiaraku
Masihkah menangis, Ara?
Bila jawabmu ‘iya’ kumohon hentikan segala tangismu itu. Aku tak sanggup
melihat airmata membasahi ayu wajahmu. Bumi pun sama, tak rela kau pijaki
dengan berderai airmata. Hentikanlah, Tiara! Dan apapun yang menjadi arinya,
segeralah kau maafkan agar selesai segala persoalan.
Kemarin
yang aku dan kau rajut bersama itu mungkin sebuah kesalahan, tapi aku tak
pernah bisa menyesalinya. Sedikitpun! Kau tahu kenapa? Karena aku tak pernah
menyesal telah menghabiskan waktu bersamamu, bersama lengkunglengkung senyummu
yang senantiasa menghias sebentuk wajah itu. Tak peduli selaut apapun dukaluka
yang harus kau arungi, bukan?
Baik,
kita kembali pada apa yang harus kukatakan dalam surat ini.
Begini,
Tiara. Aku hanya ingin kau selamanya menjadi Tiara yang kutemui pertama kali di
toko buku bekas tengah kota itu, beberapa masa yang lalu. Biarlah waktu
menuntunmu melewati kegelapan. Diamkan saja lukamu, dia dapat menyembuhkan
dirinya sendiri. Kau tahu itu, karena kau yang mengajariku. Tidak ada yang
perlu diperdebatkan tentang siapa yang lebih dilukai masalalu: aku atau kau. Kita
sama saja: aku luka, masalaluku duka. Kau duka, masalalumu duka. Kita samasama
paham. Masihkah kau memikirkannya, Ara? Bila jawabnya ‘iya,’ berjanjilah, berjanjilah
pada dirimu sendiri untuk tidak lagi membaca suratku.
Ini.
Entah surat keberapa yang barisbarinya kutulis seusai tangis kemarin lalu
kukirimkan padamu, Tiara. Kau tahu jelas apa musababnya, kan? Iya, Ara. Karena
aku jelasjelas masih mencintaimu, masih merawat bekasbekas kenangan kita agar
tak sekarat lekaslekas. Baik, ini masalahku, tidak ada urusannya denganmu. Kau
tak pernah membalas da aku mengerti itu. Aku pun tak sedikitpun menaruh harap
akan menerima balasnya darimu. Aku menulis saja, sebab aku pernah berjanji akan
selalu mengabarimu tentang keadaanku, dan yang paling penting ialah menanyakan
kabarmu. Aku akan melakukan ini sampai entah, sampai suatu saat nanti aku bisa
benarbenar menghapusmu dari ingatanku. Seperti pintamu dulu, saat tangan itu
melambaikan perpisahan.
Bagaimana
kabarmu sekarang, juwita? Masih suka duduk di teras rumah saat hujan sedang
derasderasnya? Hahaha. Aku pun sama. Sekarang aku mulai menyukai halhal yang
sering kau lakukan, yang sampai detik ini aku tak pernah mengerti apa asyiknya.
Termasuk kebiasaanmu bangun pagipagi sekali hanya untuk menyaksikan rembulan
dilangit selepas malam. Berhenti! Kutahu kau sedang banyak bicara saat ini, kau
selalu begitu. Suka atau tidak suka pada pembahasan, selalu saja banyak bicara.
Hei, kau lupa menjawab pertanyaanku! Apa kabar kau disana? Kutahu semua
baikbaik saja. Dan, aku yakin itu. Kecuali pada perutmu yang semakin hari
semakin buncit saja. Iya, maap, ma’ap. Hehehe.
Kembali
ke masalah. Bukan! Sebenarnya bukan masalah, tapi… entahlah.
Aku
tidak pernah merasa bahwa tidak ada yang pernah terjadi di antara kita, jika
itu yang membuatmu jauh dariku. Aku mengakui ada perasaan di hatiku untukmu.
Aku mengakuinya, Tiara. Bukankah kau juga? Namun, kau dan aku samasama mengerti bahwa semua ini tidak akan berjalan untuk
selamanya. Maka aku tidak berani mengambil langkah lebih jauh untuk mendekat ke
hatimu, karena aku takut tak bisa menjaganya. Seperti yang kau ceritakan
padaku, tentang lelakimu –maaf- mantan lelakimu.
Aku
ialah pemberi harapan palsu, itu katamu, Ara? Tidak, itu samasekali tidak
benar. Apa yang kusimpan selama ini adalah nyata, jelita. Yang ingin kujalani
di dunia nyata, tidak sebatas dalam maya. Semua yang kuucapkan kepadamu itu
yang sebenarbenarnya, Ara. Tidak untuk sekedar menghiburmu dengan
kalimatkalimat indah. Kau selalu bilang, kau tidak suka itu. Dan aku tahu!
Maka, aku tidak melakukannya untuk sekedar menghiburmu, tapi untuk
meyakinkanmu.
Tiara,
aku tidak percaya bahwa semua ini terjadi tanpa alasan. Aku tidak sepertimu
yang percaya dengan halhal serba kebetulan. Bahkan, matahari yang sesekali
terlambat bangun itu tentu punya akasan. Mungkin untuk menyesuaikan diri dengan
keadaanmu di suatu ketika, saat kau kembali menyakiti dirimu dengan mengutuk
masalalu. Tapi, yang sepantaspantasnya alasan ialah yang kau pilihkan, Ara. Kau
punya jalan hidupmu sendiri, seperti yang kau katakan padaku. Kau yang
mempunyai kehendak atas hati, otak, dan badanmu. Kau yang membuat mereka
berarti, lupa? Maka, setelah itu, kau yang reranting kering tak lagi butuh kayu
penopang. Kau bukan tak sanggup berdiri sendiri, kau hanya tak ingin.
Begini,
Tiara. Kau yang memerintah dirimu sendiri. Memilihkan jalan mna yang harus
ditapaki kakikakimu: yang gelap atau yang terang, yang sempit atau yang lapang.
Aku percaya kau bisa menghadapi segala pahitsakit hidupmu. Aku percaya bahwa
kau ialah Tiara yang kukenal pertama kali, yang jalannya selalu gulatebu
semanis lesung pipimu.
Bermasamasa
ita menjalin hubungan yang entah. Aku dan kau samasama tahu ini lebih dari
sekedar pertemanan. Namun, aku terlalu pengecut untuk menjelaskannya dan kau
terlalu takut untuk mengakuinya. Hingga akhirnya ita samasama lelah, lalu
berujung dengan saling diammendiamkan.
Saat
itu, segalanya kutahu telah berubah. Kau telah jauh dan aku terlalu takut untuk
mendekat. Kutahu jelas kalau kita bukanlah sepasang kekasih, juga bukan
sepasang sahabat seperti sebelumnya.
Setelah
itu aku berusaha untuk mencarimu, Tiara. Mengubur segala rasa takutku untuk
selangkah lebih dekat denganmu. Namun, kau sudah terlalu jauh. Jauh hingga
nalarku sekalipun tak dapat menemuimu. Aku tak tahu kau dimana, Ara. Tak tahu
alamat rumahmu, tak tahu nomor teleponmu. Karena kita memang tak pernah
bertemu. Memang ada banyak sekali sua di antara kita, itu pun hanya sebatas
dalam maya, itu pun hanya di awal pagi dan di penghujung sore. Hanya itu. Tidak
kurang, tidak lebih! Maka, ketika kau tak lagi tersambung, sudah usang segala.
Tak ada lagi penghubung. Sejak saat itu aku mulai menulis segala tentangmu di
atas selembar kertas dengan penaku, di layar ponsel atau komputer dengan
jariku.
Aku
masih ingat segala tentangmu, Tiara.
Aku
menjalin kasih dengan perempuan lain, setelah pada akhirnya aku benarbenar
telah mengucapkan, “Aku mencintaimu,” padamu, yang sampai sekarang belum
membalasnya. Itu yang membuatmu menenun jarak semakin banyak, Ara? Kau pasti
menganggap aku telah mempermainkan hatimu. Tidak, Ara! Aku mencintaimu, tidak
pernah secinta ini. Begini, aku paham, kau telah membangun tembok tinggi nan
tebal yang tidak akan pernah kutemui puncaknya. Kau terlalu hebat. Kau tidak
pernah membutuhkan orang lain untuk bahagia. Aku tahu kau bisa melakukan
segalanya seorang diri. Kau tak butuh aku, seperti yang pernah kau katakan. Kau
ingin mengurus semuanya sendiri, dan kupikir aku tidak dibutuhkan olehmu.
Aku
juga ingin dibutuhkan, Ara. Tidakkah kau juga?
Maka,
hentikan segala tangismu, Ara! Kumohon. Kutahu aku yang bersalah atas semua
naskah tempat kita terkisah bersama. Maafkan aku, Ara. Itu pun jika kau memang
memutuskan untuk melupakannya. Aku bersalah, Ara. Menyalahi segala yang kau
berikan sepenuh hati.
Ara,
sesekali aku bertanyatanya tentang sesuatu. Aku bersalah pada dirimu atau
diriku sendiri? Jika keduanya, maka aku telah memaafkan diriku. Sudikah kau memaafkanku
yang hidup dalam gamang ini?
Beginit,
Tiara. Aku ingin kau juga melakukan itu. Maafkanlah dirimu. Aku tak tahu apakah
kesalahan kita yang tercurah sama besar intensitasnya, tapi kau harus melakukannya. Percayalah, kau yang selalu menyalahkan dirimu hanya akan
menghentian langkahmu pada pijakan saat ini. Tidak akan kemanamana. Kau hanya
akan menambah sekatsekat yang menyesakkan dadamu dan akhirnya membuatmu tak
bisa bernapas. Kau sudah merasakannya, kan? Bahkan, mungkin, sejak pertama kali
kita tak pernah lagi saling bertukar kata.
Jangan
salah sangka dulu, Tiara! Aku tak bermaksud mengajarimu soal maafmemaafkan.
Tapi yang jelas, aku hanya ingin kau bahagia. Apakah kau sedang berbahagia saat
ini, Ara?
Tolong,
jangan basahi surat ini dengan airmatamu. Airmata terlalu berharga untuk kau
tumpahkan setiap hari. Simpanlah! Banyak hal indah yang nantinya akan memaksamu
untuk menitikkan airmata. Tidak untuk surat ini. Tidak untukmu. Apalagi
untukku.
Oh,
ya, kau masih suka melukis? Aku suka melihat kuasmu menari di atas kanvas.
Walau terkadang aku heran saat kau melakukannya setiap waktu, kapan saja. Saat
kau sedih, saat kau marah. Tapi ku suka. Kau seperti melepaskan
percikanpercikan warna ke udara. Melukis angina, melukis gerakgeriknya. Aku
seperti melihat seorang maestro menampilkan tarian di atas panggung
maharaksasa. Aku bahagia sekali karena pernah menjadi orang paling beruntung,
pernah dapat menyaksikannya langsung.
Bisa
kau melukis untukku, Ara? Lukis dirimu sendiri. Dengan rambut yang tergerai. Oh,
tidak. Aku ingin kau menutupi rambutmu itu dengan selembar kain. Jilbab, Ara.
Kau tahu, kan? Dengan alis yang menantang, dengan bibir yang menyimpan sejuta
rahasia. Melukislah di bawah jinggamerahnya senja tanpa gerimis, tanpa tangis
yang berurai.
Rumahmu
bukan disini, Ara. Tempat ini gelap. Penuh dengan pekatnya rasa kecewa dan
putus asa. Tiara, kau merindu cahaya. Yang berwarna. Kau tahu itu.
Begini,
Tiara. Tadinya aku ingin bercerita tentang seluruh kenangan. Tapi aku masih
ragu kau belum sanggup memilah yang manis dan yang tidak.
Hei,
sudahkah kau memaafkanku? Hahaha.
Sebelum
aku lupa, aku beritahu padamu, aku akan berhenti menulis dan mengirimkan surat
untukmu. Ini yang terakhir kalinya. Tapi aku tak akan berhenti mengirim kabar
kepadamu, seperti janjiku tempo hari. Sepagi, sesiang, sesore, semalam,
selamanya akan ada suaraku yang terbawa angin menujumu. Sahutlah, Ara. Walau
tidak dengan katakata, aku akan merasakannya. Karena hati kita terpaut.
Bukan
begitu, Tiara?
Berjanjilah,
kau akan berhenti hidup dalam kesedihan, dalam penyesalan. Belajarlah berdamai
dengan masalalumu. Jangan lupakan semua yang pernah terjadi. Jangan sesegera
mungkin menguburnya dalamdalam. Bingkailah fotofoto usang itu, agar dapat kau
kunjungi sesekali jika kau ingin. Tidak kurang, tidak lebih!
Sekali
lagi, aku tak pernah bermaksud menasihatimu, Ara. Aku hanya tak ingin ada
sesuatu yang menyakitimu. Aku menyayangimu, Tiara. Aku merasakannya di saat
pertama, dan di saat kedua aku telah memutuskan untuk tidak menyayangi selainmu
sampai kapanpun. Maka, setelah itu, aku tak pernah butuh menyayangi orang lain,
termasuk diriku sendiri.
Aku, yang mencintaimu di Keabadian.