Minggu, 03 November 2013

Kecupan Kenangan




Kecupan Kenangan
Di luar, malam berbagi selimut dengan pepohonan akasia
Tiaptiap hujan, jatuh sebagai kepedihan paling mulia
Percaperca kenangan itu, kusatukan untuk mengganti pelukan
Tapi, kita samasama tahu: kambojakamboja itu mendekap di keabadian

Lalu dunia, lalu waktu, lalu mereka tak bisa jadikannya masalalu
Kita masih disini, di bawah guguran sajaksajak yang ngilu,
dan kembangkembang jambu air,
dan ceriteraceritera yang telah berakhir

Dan dunia, dan waktu, dan mereka tahu tiada pengganti
Kita masih disini, di bawah tumpukan katakata yang mati,
dan kecupankecupan bebintang,
dan epilogepilog yang menggarang

Semacam epitaf: lariklarik puisi yang ditulis matamu,
masih kubaca kelu hingga jantungku
Di atas kenangan yang kumakamkan dengan sisa kekuatan,
kutinggalkan kecupan sebagai yang paling menyedihkan

Makassar, 26 Oktober 2013: 17.17
Tiara Khalisa

Jumat, 11 Oktober 2013

Teruntuk Tiaraku

Teruntuk Tiaraku

Masihkah menangis, Ara? Bila jawabmu ‘iya’ kumohon hentikan segala tangismu itu. Aku tak sanggup melihat airmata membasahi ayu wajahmu. Bumi pun sama, tak rela kau pijaki dengan berderai airmata. Hentikanlah, Tiara! Dan apapun yang menjadi arinya, segeralah kau maafkan agar selesai segala persoalan.

            Kemarin yang aku dan kau rajut bersama itu mungkin sebuah kesalahan, tapi aku tak pernah bisa menyesalinya. Sedikitpun! Kau tahu kenapa? Karena aku tak pernah menyesal telah menghabiskan waktu bersamamu, bersama lengkunglengkung senyummu yang senantiasa menghias sebentuk wajah itu. Tak peduli selaut apapun dukaluka yang harus kau arungi, bukan?

            Baik, kita kembali pada apa yang harus kukatakan dalam surat ini.

            Begini, Tiara. Aku hanya ingin kau selamanya menjadi Tiara yang kutemui pertama kali di toko buku bekas tengah kota itu, beberapa masa yang lalu. Biarlah waktu menuntunmu melewati kegelapan. Diamkan saja lukamu, dia dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Kau tahu itu, karena kau yang mengajariku. Tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang siapa yang lebih dilukai masalalu: aku atau kau. Kita sama saja: aku luka, masalaluku duka. Kau duka, masalalumu duka. Kita samasama paham. Masihkah kau memikirkannya, Ara? Bila jawabnya ‘iya,’ berjanjilah, berjanjilah pada dirimu sendiri untuk tidak lagi membaca suratku.

            Ini. Entah surat keberapa yang barisbarinya kutulis seusai tangis kemarin lalu kukirimkan padamu, Tiara. Kau tahu jelas apa musababnya, kan? Iya, Ara. Karena aku jelasjelas masih mencintaimu, masih merawat bekasbekas kenangan kita agar tak sekarat lekaslekas. Baik, ini masalahku, tidak ada urusannya denganmu. Kau tak pernah membalas da aku mengerti itu. Aku pun tak sedikitpun menaruh harap akan menerima balasnya darimu. Aku menulis saja, sebab aku pernah berjanji akan selalu mengabarimu tentang keadaanku, dan yang paling penting ialah menanyakan kabarmu. Aku akan melakukan ini sampai entah, sampai suatu saat nanti aku bisa benarbenar menghapusmu dari ingatanku. Seperti pintamu dulu, saat tangan itu melambaikan perpisahan.

            Bagaimana kabarmu sekarang, juwita? Masih suka duduk di teras rumah saat hujan sedang derasderasnya? Hahaha. Aku pun sama. Sekarang aku mulai menyukai halhal yang sering kau lakukan, yang sampai detik ini aku tak pernah mengerti apa asyiknya. Termasuk kebiasaanmu bangun pagipagi sekali hanya untuk menyaksikan rembulan dilangit selepas malam. Berhenti! Kutahu kau sedang banyak bicara saat ini, kau selalu begitu. Suka atau tidak suka pada pembahasan, selalu saja banyak bicara. Hei, kau lupa menjawab pertanyaanku! Apa kabar kau disana? Kutahu semua baikbaik saja. Dan, aku yakin itu. Kecuali pada perutmu yang semakin hari semakin buncit saja. Iya, maap, ma’ap. Hehehe.

            Kembali ke masalah. Bukan! Sebenarnya bukan masalah, tapi… entahlah.

            Aku tidak pernah merasa bahwa tidak ada yang pernah terjadi di antara kita, jika itu yang membuatmu jauh dariku. Aku mengakui ada perasaan di hatiku untukmu. Aku mengakuinya, Tiara. Bukankah kau juga? Namun, kau dan aku samasama mengerti  bahwa semua ini tidak akan berjalan untuk selamanya. Maka aku tidak berani mengambil langkah lebih jauh untuk mendekat ke hatimu, karena aku takut tak bisa menjaganya. Seperti yang kau ceritakan padaku, tentang lelakimu –maaf- mantan lelakimu.

            Aku ialah pemberi harapan palsu, itu katamu, Ara? Tidak, itu samasekali tidak benar. Apa yang kusimpan selama ini adalah nyata, jelita. Yang ingin kujalani di dunia nyata, tidak sebatas dalam maya. Semua yang kuucapkan kepadamu itu yang sebenarbenarnya, Ara. Tidak untuk sekedar menghiburmu dengan kalimatkalimat indah. Kau selalu bilang, kau tidak suka itu. Dan aku tahu! Maka, aku tidak melakukannya untuk sekedar menghiburmu, tapi untuk meyakinkanmu.

            Tiara, aku tidak percaya bahwa semua ini terjadi tanpa alasan. Aku tidak sepertimu yang percaya dengan halhal serba kebetulan. Bahkan, matahari yang sesekali terlambat bangun itu tentu punya akasan. Mungkin untuk menyesuaikan diri dengan keadaanmu di suatu ketika, saat kau kembali menyakiti dirimu dengan mengutuk masalalu. Tapi, yang sepantaspantasnya alasan ialah yang kau pilihkan, Ara. Kau punya jalan hidupmu sendiri, seperti yang kau katakan padaku. Kau yang mempunyai kehendak atas hati, otak, dan badanmu. Kau yang membuat mereka berarti, lupa? Maka, setelah itu, kau yang reranting kering tak lagi butuh kayu penopang. Kau bukan tak sanggup berdiri sendiri, kau hanya tak ingin.

            Begini, Tiara. Kau yang memerintah dirimu sendiri. Memilihkan jalan mna yang harus ditapaki kakikakimu: yang gelap atau yang terang, yang sempit atau yang lapang. Aku percaya kau bisa menghadapi segala pahitsakit hidupmu. Aku percaya bahwa kau ialah Tiara yang kukenal pertama kali, yang jalannya selalu gulatebu semanis lesung pipimu.

            Bermasamasa ita menjalin hubungan yang entah. Aku dan kau samasama tahu ini lebih dari sekedar pertemanan. Namun, aku terlalu pengecut untuk menjelaskannya dan kau terlalu takut untuk mengakuinya. Hingga akhirnya ita samasama lelah, lalu berujung dengan saling diammendiamkan.

            Saat itu, segalanya kutahu telah berubah. Kau telah jauh dan aku terlalu takut untuk mendekat. Kutahu jelas kalau kita bukanlah sepasang kekasih, juga bukan sepasang sahabat seperti sebelumnya.

            Setelah itu aku berusaha untuk mencarimu, Tiara. Mengubur segala rasa takutku untuk selangkah lebih dekat denganmu. Namun, kau sudah terlalu jauh. Jauh hingga nalarku sekalipun tak dapat menemuimu. Aku tak tahu kau dimana, Ara. Tak tahu alamat rumahmu, tak tahu nomor teleponmu. Karena kita memang tak pernah bertemu. Memang ada banyak sekali sua di antara kita, itu pun hanya sebatas dalam maya, itu pun hanya di awal pagi dan di penghujung sore. Hanya itu. Tidak kurang, tidak lebih! Maka, ketika kau tak lagi tersambung, sudah usang segala. Tak ada lagi penghubung. Sejak saat itu aku mulai menulis segala tentangmu di atas selembar kertas dengan penaku, di layar ponsel atau komputer dengan jariku.

            Aku masih ingat segala tentangmu, Tiara.

            Aku menjalin kasih dengan perempuan lain, setelah pada akhirnya aku benarbenar telah mengucapkan, “Aku mencintaimu,” padamu, yang sampai sekarang belum membalasnya. Itu yang membuatmu menenun jarak semakin banyak, Ara? Kau pasti menganggap aku telah mempermainkan hatimu. Tidak, Ara! Aku mencintaimu, tidak pernah secinta ini. Begini, aku paham, kau telah membangun tembok tinggi nan tebal yang tidak akan pernah kutemui puncaknya. Kau terlalu hebat. Kau tidak pernah membutuhkan orang lain untuk bahagia. Aku tahu kau bisa melakukan segalanya seorang diri. Kau tak butuh aku, seperti yang pernah kau katakan. Kau ingin mengurus semuanya sendiri, dan kupikir aku tidak dibutuhkan olehmu.

            Aku juga ingin dibutuhkan, Ara. Tidakkah kau juga?

            Maka, hentikan segala tangismu, Ara! Kumohon. Kutahu aku yang bersalah atas semua naskah tempat kita terkisah bersama. Maafkan aku, Ara. Itu pun jika kau memang memutuskan untuk melupakannya. Aku bersalah, Ara. Menyalahi segala yang kau berikan sepenuh hati.

            Ara, sesekali aku bertanyatanya tentang sesuatu. Aku bersalah pada dirimu atau diriku sendiri? Jika keduanya, maka aku telah memaafkan diriku. Sudikah kau memaafkanku yang hidup dalam gamang ini?

            Beginit, Tiara. Aku ingin kau juga melakukan itu. Maafkanlah dirimu. Aku tak tahu apakah kesalahan kita yang tercurah sama besar intensitasnya, tapi kau harus melakukannya. Percayalah, kau yang selalu menyalahkan dirimu hanya akan menghentian langkahmu pada pijakan saat ini. Tidak akan kemanamana. Kau hanya akan menambah sekatsekat yang menyesakkan dadamu dan akhirnya membuatmu tak bisa bernapas. Kau sudah merasakannya, kan? Bahkan, mungkin, sejak pertama kali kita tak pernah lagi saling bertukar kata.

            Jangan salah sangka dulu, Tiara! Aku tak bermaksud mengajarimu soal maafmemaafkan. Tapi yang jelas, aku hanya ingin kau bahagia. Apakah kau sedang berbahagia saat ini, Ara?

            Tolong, jangan basahi surat ini dengan airmatamu. Airmata terlalu berharga untuk kau tumpahkan setiap hari. Simpanlah! Banyak hal indah yang nantinya akan memaksamu untuk menitikkan airmata. Tidak untuk surat ini. Tidak untukmu. Apalagi untukku.

            Oh, ya, kau masih suka melukis? Aku suka melihat kuasmu menari di atas kanvas. Walau terkadang aku heran saat kau melakukannya setiap waktu, kapan saja. Saat kau sedih, saat kau marah. Tapi ku suka. Kau seperti melepaskan percikanpercikan warna ke udara. Melukis angina, melukis gerakgeriknya. Aku seperti melihat seorang maestro menampilkan tarian di atas panggung maharaksasa. Aku bahagia sekali karena pernah menjadi orang paling beruntung, pernah dapat menyaksikannya langsung.

            Bisa kau melukis untukku, Ara? Lukis dirimu sendiri. Dengan rambut yang tergerai. Oh, tidak. Aku ingin kau menutupi rambutmu itu dengan selembar kain. Jilbab, Ara. Kau tahu, kan? Dengan alis yang menantang, dengan bibir yang menyimpan sejuta rahasia. Melukislah di bawah jinggamerahnya senja tanpa gerimis, tanpa tangis yang berurai.

            Rumahmu bukan disini, Ara. Tempat ini gelap. Penuh dengan pekatnya rasa kecewa dan putus asa. Tiara, kau merindu cahaya. Yang berwarna. Kau tahu itu.

            Begini, Tiara. Tadinya aku ingin bercerita tentang seluruh kenangan. Tapi aku masih ragu kau belum sanggup memilah yang manis dan yang tidak.
            Hei, sudahkah kau memaafkanku? Hahaha.

            Sebelum aku lupa, aku beritahu padamu, aku akan berhenti menulis dan mengirimkan surat untukmu. Ini yang terakhir kalinya. Tapi aku tak akan berhenti mengirim kabar kepadamu, seperti janjiku tempo hari. Sepagi, sesiang, sesore, semalam, selamanya akan ada suaraku yang terbawa angin menujumu. Sahutlah, Ara. Walau tidak dengan katakata, aku akan merasakannya. Karena hati kita terpaut.
            Bukan begitu, Tiara?

            Berjanjilah, kau akan berhenti hidup dalam kesedihan, dalam penyesalan. Belajarlah berdamai dengan masalalumu. Jangan lupakan semua yang pernah terjadi. Jangan sesegera mungkin menguburnya dalamdalam. Bingkailah fotofoto usang itu, agar dapat kau kunjungi sesekali jika kau ingin. Tidak kurang, tidak lebih!

            Sekali lagi, aku tak pernah bermaksud menasihatimu, Ara. Aku hanya tak ingin ada sesuatu yang menyakitimu. Aku menyayangimu, Tiara. Aku merasakannya di saat pertama, dan di saat kedua aku telah memutuskan untuk tidak menyayangi selainmu sampai kapanpun. Maka, setelah itu, aku tak pernah butuh menyayangi orang lain, termasuk diriku sendiri.

Aku, yang mencintaimu di Keabadian.

Kamis, 26 September 2013

Repeat


Repeat
Segala renungan dan kenangan, di hari ini
Setiap tahun, menyesaki rongga jiwaku,
Menghentikan kehidupan, menampakkan
(Kahlil Gibran-Hari kelahiranku)

            Kupikir kau hanya debu-debu zaman yang menghuni lembar-lembar masa laluku. Akan segera hilang dilindas waktu yang terus-menerus berjalan, tak peduli tentang seorang yang masih belum bisa melangkah jauh-jauh dari segala kejadian sebelumnya.

            Entah pasal apa: aku yang terlalu bodoh melepasmu begitu saja, atau kau yang terlampau pintar membiarkanku terpuruk sendiri dengan segala ceritera tanpa akhir yang menghantui. Mungkin, masa itu, aku terlalu bosan dengan skenario cerita yang harus kita lakoni, berperan seperti dengan apa yang telah 
digariskan sebelumnya tanpa pernah ada kesempatan untuk berimprovisasi, atau karena dia. Entah, entah.

            Benarkah? Benarkah aku melepasmu kala itu? Ah, iya. Padahal belum pernah ada salah yang kau goreskan, belum ada gerikmu yang menyayat hati, belum ada satu yang melukaiku. Kenapa kau tak melakukannya? Dulu, kau pernah berjanji ingin menjadi payung, menjaga mataku agar tetap kering dari airmata yang selalu jadi senjata ampuh membasuh luka. Tak sedetikpun kau menyalahi janji itu. Tapi, dia.

            Dia. Lelaki beralis tebal itu datang padaku ketika kau benar-benar sibuk. Ketika kau tak punya sedikitpun waktu untuk diluangkan bersamaku, ini bukan salahmu tentunya. Kau pernah memberitahuku seribusatu musababnya. Hanya saja aku yang tak pernah bisa mengerti, tak bisa maklumi. Hei, tidak! Waktu itu aku memaklumi! Tapi pada dasarnya aku tak pernah suka dengan segala sunyi-senyap kesendirian, akhirnya kubiarkan dia menemaniku. Maaf.

            Bukan maksudku mengkhianatimu, lakilaki yang pernah beredar di pikir dan hatiku. Aku hanya mencari seseorang yang bisa bersamaku sepanjang waktu,  tak peduli urusan lain yang mendesak-desak, tak peduli sesak tugas-tugas yang harus diselesaikan. Tak sepantasnya aku seperti itu, sebenarnya. Karena cinta tak peduli seberapa banyak yang telah kau perbuat untuk orang yang kau cintai, tapi seberapa jauh kau mencintai sampai jauh di kemudian hari, tak peduli ada ataupun tiada.

            Bisa kita ulangi semua itu? Aku kata, kamu kata, dan kita menjelma puisi. Aku cinta, kamu cinta, dan kita saling mengisi. Kupikir tanyaku itu akan dijawab ‘iya’ olehmu, kalau saja wanita semampai itu tidak mendominasi segala kisah-kisahmu akhir-akhir ini.

            Jika kita bisa mengulanginya sekali lagi, aku ialah cinta yang menantimu sepanjang bulan hujan lalu, dan mencintaimu sepanjang kemarau hingga waktu tak lagi berlalu.

Untukmu, untuk segala sesalku
Tiara

Sabtu, 31 Agustus 2013

Melagu Ragu


 Melagu Ragu

            Asta, lelaki yang sampai kini tak kutahui benar siapa. Aku selalu menantimu di kebisuan, di berjuta kilometer bentang jarak  yang semakin menjerumuskanku dalam kerinduan. Entah aku merindu sesiapa, jelasnya selalu ada bayangmu dalam pandang mataku, selalu ada suaramu yang terngiang di telingaku, dan sejuta senyummu di langit-langit kamarku. Semua yang kutahu adalah kamu sebagai temanku dalam sepi yang semakin mengungkung.
~
            Siapa hulu setiap harimu, jelita? Kuharap jawabmu adalah aku. Telah lama aku berharap menjadi segalamu, satu-satunya tempat berbagi ceriteramu, tak peduli suka atau duka melukai, tetap hanya aku tempatmu bersandar Farah, Farahku sendiri. Untuk dengan siapa aku berceloteh panjang-lebar tentang ruangku, tiada lagi yang kuharap. Hanya kamu seorang. Aku terlalu senang jika kamu mengeluh padaku. Membuat monitor laptopku basah karena airmata-kata yang dikirim olehmu, biar langitku kelabu seperti pelangimu yang telah sirna. Aku mencintaimu, Farah untuk segala suka-duka, cita-cinta, manis-tangis, lelah-cerah asal denganmu aku mampu.
~
            Lalu, mengapa hingga kini masih bungkam, kasih? Tidakkah frekuensi hati kita sudah sama? Kamu sudah lama menyesaki dadaku, bukan? Aku ialah mentari yang akan menyeruakkan cahaya jika selimut awanku telah disibak. Ialah planet yang hanya harus berada di ekliptikanya. Ialah senja yang akan tiba kembali esok lalu lenyap disesap malam. Ialah aku yang hanya seorang wanita. Mengertilah, Asta! Kapasitasku hanya mencintaimu, itu saja. Selebihnya, kamulah yang berperan. Yang harus menuai ranum rasaku atas benih-benih yang kamu taburkan hari itu, atas yang telah tumbuh subur disiram rayumu sepanjang kemarin.
~
            Maaf, Farah. Aku hanya tak tahu bagaimana menafsirkan debar-debar yang tak jua pudar ini, tak kuasa menjelmakan seraut wajahmu menjadi kata. Aku bukan pujangga yang mampu menyusun rentetan kekata nan apik untuk utarakan maksud hatinya. Bukan musisi yang menghidupkan melodi jadi segenap penebus rasa. Bukan, Farah. Aku hanya lelaki yang terus mencari-cari, meraba-raba radius hatimu. Walau kutahu tak satupun akan kujangkau. Aku hanya masih menunggu angina bisikkan rasamu padaku.
~
            Kenapa, Asta? Masih belum yakin tentang bagaimana kuartikan hadirmu? Masih ragu untuk sekian banyak geletarku yang berbeda kala menjumpamu dalam maya? Jangan melulu diam, Tuan. Aku tak suka denganmu yang selalu bungkam, selalu buatku gemas dengan segala tingkah-polahmu. Tidak pernah kuinginkanmu seperti mereka yang dengan manis meminta seorang gadis menjadi kekasihnya. Aku hanya ingin kamu membuat segala penantianku ini tak sia-sia, menghentikan segala suara jiwa yang meringis setiap malam karena ragu tak terdengar.
~
            Bukan maksudku menyembunyikan rasa ini dalam-dalam, Puan. Aku hanya takut dengan cintaku yang nantinya bertepuk sebelah tangan, takut bila kamu lupa merawatnya baik-baik dan usang di suatu waktu, bahkan salah alamat. Aku memang ragu, Farah. Ragu akanmu, bukan akan cintamu. Mata hati kita sudah bertumbukan untuk kesekian kalinya, namun sorotmu tak sedikitpun disapu pandangku. Ini perkara jarak! Jarak yang hanya mampu kukutuk dengan umpatan kala rindu yang menyesatkan ini tak lagi tertahankan, Puan.
~
            Jangan pernah menyalahkan jarak! Jarak ialah segala yang memisahkan kita, namun hati telah membangun satu istana untuk kita rebahkan rindu di dalamnya. Jarak diciptakan agar kita tahu seberapa mahalnya temu sepersekian sekon, agar kita tahu arti percaya walau dusta-rayu tak luput membutakan, agar kita tahu sunyi-enyap kesendirian juga gegap-gempita kebersamaan. Baik. Akan tetap aku mencintaimu. Asta, walau kamu masih ragu untuk semua ini. Tapi akan tetap aku berdiri di atas pijakanku: Mencintaimu tanpa alasan, tanpa tanya.
~
            Sekali lagi maafkan, Farah. Aku hanya tak ingin ada seberkas ragu yang menyusup di hati ini ketika kita selangkah maju menuju cinta. Aku hanya tak ingin ada waktu kita yang turut dinikmati prasangka lantaran jarak yang jauh terbentang. Aku hanya tak ingin jatuh untuk kesekian kalinya. Aku mencintaimu, Farah. Ketika laut memisahkan, ada langit yang menyatukan kita. Ketika kelunya lidah memaksa diam, kekata akan bicara, jelita.

-Untuk kamu yang meragu
Tiara