Kamis, 30 Mei 2013

Winter Love


            Gumpalan putih berjatuhan dari langit, menyelimuti jalan setapak, orang-orang turun ke jalan. Sebagian dari mereka seperti geram dengan banyaknya salju yang menutupi jalan depan rumahnya, mereka seperti mengusir salju itu dari sana. Sementara anak-anak mereka sibuk bermain salju, mungkin dalam hatinya anak itu ingin berkata “Itu mainan kami, jangan diambil!”
            “Aku ingin seperti mereka, bu.” Ujarku pada ibu yang tengah asyik dengan buku bacaannya.
            “Kau tahu keadaanmu, Natha.” Ibu menjawab seadanya lalu beranjak pergi. Aku tahu ia menghindari perkataanku selanjutnya.
            Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini, termangu-mangu sendiri ketika mendengar sebayaku bermain penuh gelak tawa. Awalnya memang ini menjadi pukulan telak bagiku, tapi 7 tahun ini aku mulai mengerti dengan semua kejadian ini. Hidup sendiri, tak kemana-mana.
            Jendela ini adalah benda kesukaanku. Karena dengan benda ini aku dapat melihat mereka bermain, tertawa, mungkin saling ejek. Aku melempar pandangan pada sesuatu yang menyala-nyala, tak sulit untuk kujangkau. Berkobar-kobar penuh semangat, tetap menyala di musim dingin seperti ini. Api. Aku terbang ke masa lalu, membuka kembali kitab semesta yang pernah ditulis dengan wujudku bertahun-tahun lamanya. Aku halaman hidup!
Keluarga Michelle bergegas menuju gereja untuk Misa Natal, bahagia. Aku pun tak luput dari segala kegembiraan ini. Layaknya anak 8 tahun lainnya aku berlari-lari keliling rumah, tidak jelas mau ke mana. Aku menarik-narik ujung dress Ibuku, merengek agar ia bergerak lebih cepat lagi, aku tak sabar menuju gereja. Sebenarnya bukan tak sabar menuju gereja untuk Misa, tapi tak sabar ingin membuka kado natal keesokan hari setelah Misa.
“Kalian tak lupa sesuatu?” tanya Ayah saat kami semua sudah keluar dari rumah sebelum ia mengunci pintu.
“Tidak ada yang terlupa, ayah. Cepatlah, aku tak sabar untuk natal ini!” lengosku kesal.
Salju-salju telah merayuku untuk menjamah mereka. Tapi Ayah melarangku untuk bermain salju di malam hari, katanya “Salju malam tak baik untuk anak kecil.”
“Berarti aku harus besar, ya?” dengan kepolosan khas anak-anak aku bertanya pada Ayah.
Ayah hanya mengangguk, lalu Ibu angkat bicara, “Ya, setelah besar, kau boleh bermain salju sesukamu.” Aku jadi kegirangan karena ucapan Ibu. Aku melompat-lompat tak jelas, lantai-lantai rumah ibarat trampoline yang melontarkanku ke atas.
“Kau masih mau melompat-lompat?” tanya Ayah lagi. Aku menoleh pada Ayah, heran karena pertanyaannya barusan.
“Tidak. Aku mau ke gereja!” setelah mengerti aku menjawabnya dengan bersorak-sorai. Ayah dan Ibuku di dera tawa, dan di saat seperti ini aku mulai merasakan ada kupu-kupu yang menari di dalam perutku.
Kami berjalan kaki menuju gereja. Kata ibu, ini sudah menjadi kebiasaan. Setiap ke gereja, keluarga kami memang memutuskan untuk tidak mengunakan mobil. Aku berlari di sepanjang perjalanan, sesekali Ibu memberi tahuku kalau-kalau ada mobil yang berjalan di sekitarku.
Sesuatu yang putih terus menerus turun bergugusan dari langit, perlahan tapi pasti menjadi semakin banyak dan menutupi jalan. Dedaunan pohon-pohon cemara yang menghiasi pinggiran jalan terlihat ditutupi salju, tapi lampu berwarna-warni masih lebih mendominasi disana. Di ujung mataku, aku melihat sebuah pohon cemara di seberang jalan yang penuh lampu-lampu penuh warna khas pohon natal. Tapi pohon ini lebih besar dari yang lain, di puncaknya ada sebuah bintang berwarna kuning keemasan. Sangat indah.
Aku berlari menuju pohon itu tanpa izin dari Ibu, dan menyebrang tanpa melihat keadaan, tiba-tiba sebuah mobil datang dari arah kiri dengan laju yang kencang di jalan licin, dan mobil tersebut menabrak ku, aku berteriak memanggil ibu, dari arah berlawanan ibu berlari menuju tempat ku. Aku seperti lumpuh dan tidak berdaya.
Rak-rak buku tinggi menghiasi kamarku, novel-novel klasik bertengger manis disana, dari masa ke masa, dari ”A Walk To Remember” milik Nicholas Sparks hingga berbagai seri “Twilight” dari Stephenie Meyer. Sebuah cermin besar yang memenuhi satu sisi dinding sekarang berada di hadapanku.
“NATHALIE MICHELLE SEORANG PECUNDANG!!” aku berteriak. Menangis sejadi-jadinya, kulempar barang-barang yang ada di sekitarku. Tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanyut terbawa emosi. Tak lagi dapat kubendung semua ini. Aku benci hidup! Tuhan tak adil! Tuhan tak adil!
Kenapa aku yang harus menerima semua ini? Kenapa cobaan sebesar ini diberikan untuk gadis 15 tahun yang sama sekali tak mengerti apapun tentang dunia? Ini semua benar-benar tak berujung. Segalanya tak akan menguap seperti embun di dedaunan yang menguap terkena cahaya matahari lalu menghilang. Aku muak dengan dunia!
“AKU MAU MATI SAJA!!!” teriakku sekeras mungkin.
Ibu masuk ke kamarku dengan bersimbah air mata, mungkin ia mengerti perasaanku saat ini. Perlahan ia berjalan mendekat, merengkuhku masuk dalam pelukannya. Aku terkulai tak berdaya, hangat pelukan Ibu melebur dalam diriku. 
“Tuhan benar-benar tak adil, bu” air mataku terus menerus mengalir, pulupuk mataku tak lagi kuasa membendung sekumpulan cairan itu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ibu. Ia terdiam membisu dan lebih dalam lagi menenggelamkanku dalam dekapnya.
Sang surya menggelincir ke arah timur, keluar dari persemayamannya di barat. Tapi kali ini ia berbeda, sama sekali tak ada pakaian cahaya yang penuh gemerlap seperti yang selalu ia kenakan. Tentu saja karena ini adalah musim dingin. Cahaya yang selalu menembus jendela kamarku terhalang oleh salju tebal yang menumpuk disana.
Kuraih syal ungu bergaris putih yang tergantung di balik pintu kamarku. Aku menyisiri rambutku setelah syal kesayanganku ini terlilit sempurna di leher jenjangku. Aku memutar roda kursiku, kuharap ada seseorang yang tak pergi merayakan natal di gereja. Tentu untuk menemaniku di rumah.
“Natha, kau tidak mau ikut?” tanya Ibu padaku, ia masih merapikan bajunya.
“Tidak, bu. Aku takut semuanya terulang kembali.” Aku menunduk, takut menatap Ibu. 
“Mungkin Tuhan memberi cobaan sebesar ini karena kau jarang mengunjungi rumah-Nya.” Balas Ibu lalu masuk ke kamarnya.
Ucapan Ibu kali ini merasuk kalbuku. Aku benar-benar tak menyadari semua ini, menyadari hukum timbal balik dari Tuhan. “Aku ikut, bu!”
Suasana natal masih seperti 7 tahun lalu. Aku, Ayah, dan Ibu tidak menggunakan mobil menuju gereja. Tapi segalanya tentu tidak sama persis, aku tak lagi mampu melompat-lompat kegirangan karena natal, tak lagi berlari-lari karena melihat pohon natal yang paling besar di tepi jalan. Keadaanku berubah.
Ibu mendorong kursi rodaku dari belakang. Ayah tak berbicara sedikit pun sejak tadi. Tapi kutahu ia bahagia hari ini, hari ini adalah hari pertamaku ikut bersama mereka untuk merayakan natal di gereja sejak 7 tahun lalu. Sejak peristiwa itu terjadi.
Mataku menangkap sesosok berbeda dari manusia-manusia yang sedang melihat jadwal ibadah di gereja ini. Ia berbeda. Indera penglihatannya dipayungi sepasang alis berwarna senada dengan rambutnya. Terlihat sangat teduh. Kedua ujung bibirnya tertarik bersamaan, membentuk sebuah senyum di wajahnya.
“Natha, ayo kita pulang.” Ibu mendorong kursi rodaku kembali, menuju rumah. Tetapi pandangku masih tak bisa lepas darinya, mataku masih mengekor pada punggungnya yang perlahan menjauh. Mungkin ia akan datang ke sini lagi nanti malam.
            Aku mengenakan syalku, sweater berwarna cokelat sedari tadi telah menghangatkan tubuhku. Dengan penuh rasa penasaran dan tekad yang telah bulat, aku pergi ke gereja tadi. Malam ini! Tentu tanpa sepengetahuan orang rumah.
            Tak sabar aku untuk kembali ke gereja itu, untuk melihatnya kembali. Aku sudah mampu melihat bangunan besar itu di ujung mataku. Sedikit lagi aku sampai disana. Dan, ya, aku sudah sampai! Tapi apa yang kudapatkan? Hasilnya nihil! Ia tak ada disini! Aku menyesal! Aku telah berjuang untuk sesuatu yang tak pasti. Aku terlalu bodoh.
            “Tuhan, sampai kapan aku seperti ini? Aku ingin seperti mereka. Seperti teman-temanku, bisa tertawa, bahagia, dan tentu bisa berjalan. Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk menjalani hidup ini seperti mereka?” aku berdo’a pada Tuhan di bawah pohon natal gereja.
            “Tuhan, aku ingin merasakan cinta.” Air mataku mulai berlinang.
            “Aku mencintaimu.” Terdengar suara samar-samar dari arah belakangku. Aku berbalik badan, lalu tercengang dengan apa yang kutemui. Ia, yang sedari tadi kutunggu, bersamaku disini.


-Karena cinta punya cara untuk datang
Goresan pena Tiara Khalisa dan Nur Hijriani Z. 




Selasa, 28 Mei 2013

Too Late


I still waiting here for you
I still can here the words you said
“I will come back for you,”
Last time, I still be patiented

I’m disappointed
I think you’re lier
I’m confused
To judge you a player

Yesterday,
I saw you with another girl
My heart was so dirty
You’ve to give your heart for another girl

Today,
You come back to me
You said, I’m your lovely
U beg me

But this is too late
You made me broken
But this is too late
You made me broken

Senin, 27 Mei 2013

Hening, tenang, dan dengarkan.


Heninglah, hatiku!
Langit tak lagi mampu mendengar celotehmu.
Diamlah, batinku!
Indahkan rahasiamu.

Tenanglah dulu, dengarkan aku bicara.
Aku melihat semua ini dalam mimpi, kulihat!
Gunung api berkobar, namun
Tak kudengar kicau sang murai, bahkan
Tak kusaksikan ia terbang.

Dengarlah, jiwaku.
Kemarin kau kuat laksana karang
Tak goyah diterpa ombak lepas laut selatan

Aku tahu kau lelah,
Jemari waktu memperlihatkannya padaku
Dalam buku semesta.

Segala renungan dan kenangan
Biarlah lenyap, terbang ke atas sana
Izinkan mereka terusir badai
Tersapu awan tipis dari wajah langit biru
Seperti gemericik sungai kecil yang menghilang