Seribu
Tahun Lagi, Mungkin
I
have die everyday waiting for you
Darling
don’t be afraid
I
have loved you for a thousand years
I
love you for a thousand more
(Christina
Perri – A Thousand Years)
Hai! Sedang apa kamu? Jika kamu
menanyakan hal itu padaku, aku akan menjawab, “Sedang memerhatikan bayangmu
yang berkeliaran di kepalaku, menanti bibirmu melontarkan rentetan aksara yang
telah membuatku terjaga semalaman.”
Hai! Apa kabarmu? Jika kamu
menanyakan hal itu padaku, aku akan menjawab, “Baik. Karena aku selalu
menikmati masa-masa penantianku, walau kau tak pernah memberi sedikitpun
kepastian kapan akan kuakhiri ini.”
Hai! Perlu kamu ketahui, aku akan
selalu menantimu untuk menggemakan kata itu. Menikmati segala substansi rasa
dari semesta, rindu yang membiru, cinta yang menggelora, penantian yang
(semoga) bertepi.
“Jangan nangis gitu dong, Ren.
Tulisan lo ini engga bakal sia-sia. Percaya sama gue,” begitu katamu ketika
mendapatiku bersimbah air mata karena naskah kumpulan cerpenku yang kembali
dengan amplop berwarna cokelat.
“Engga sia-sia gimana, ini uda
ditolak 2 kali,” aku tetap bertahan di atas pijakanku bahwa semua yang
kulakukan selama 10 tahun ini benar-benar tak ada artinya.
“Kita jadiin semua ini beda dari
yang lain,” ada kilatan dalam matamu, memancarkan sebuah keyakinan yang juga
menyambarku.
“Beda gimana?” tanyaku, masih heran
dengan maksud dari perkataanmu tadi.
“Liat aja nanti. Pokoknya kamu nulis
aja terus, jangan lupa pake hati,”
Kamu memintaku menulis dengan hati,
itu artinya aku menulis tentang rasa. Untuk itu aku kembali menulis,
mencurahkan segala yang ada dalam hati di atas kertas polos dengan tinta penaku
yang mengalir bersama cinta kasih. Kutenun serat-serat aksara menjadi sebuah
lembar kisah yang menceritakan janji dan penantian.
Ketika jemariku dengan lincah
berdansa dengan pena, aku kembali memutar rekaman masa lalu disaat kamu menyeru
bahwa aksara-aksara yang kujejerkan tidak akan sia-sia. Perbincangan singkat
itu telah membakar kembali semangatku hingga berkobar-kobar, membuat segala
yang telah padam kembali menyala. Iya, kamu telah menyalakan kembali lampu
pelitaku.
“Rena, istirahat dulu gih, engga
capek apa?!” kamu mengagetkanku yang sedang asyik merangkai cerita tentang
cinta yang menjadi harapku. Segelas cokelat hangat telah kamu letakkan di
sebelahku, sebelah kertas dan pena yang menjadi saksi betapa manisnya dirimu.
“Lo emangnya engga capek?” kuberi
tanya bermakna sama dengan ucapanmu tadi. Akan sengat terkejut aku jika kamu
menjawabnya tidak setelah membuat sketsa gambar sebanyak itu untuk tulisanku.
“Capek sih. Tapi semua ini tak akan
sebanding denganmu,” senyum itu, senyum itu yang selalu membuatku membeku.
Lengkung itu selalu kamu suguhkan untukku, kapan pun, dimana pun, walau aku
sendiri tak pernah memintanya. Tapi kamu sepertinya selalu tahu apa yang
kuinginkan. Kuharap kamu mengiyakan ini.
“Halah. Lo engga pantes ngomong
kayak gitu,” aku meledekmu, berusaha untuk terlihat biasa saja. Padahal
sebenarnya, hatiku telah berubah warna jadi merah muda. Rasaku terbang entah
kemana. Kuharap menuju hatimu.
“Iya, si. Tapi kalo nunggu lo yang
bilang bisa sampe seribu tahun gue nunggunya,” selalu saja ada balasan darimu
untuk setiap celotehku, selalu ada segaris rasa yang kamu torehkan di hatiku. Kuharap nantinya ada kata ‘keramat’ itu. Aku
tak membalas lagi.
Tahukah kamu, sebaris kalimat yang
mungkin terdengar sangat biasa itu telah melambungkanku. Membuatku menaruh
harap terhadapmu, membuatku mengkhayalkan bagaimana nanti kamu akan mengulang
lagi kalimat itu tanpa ada canda yang tersisip di antaranya.
“Ren, ikut gue!” pergelangan
tanganku telah berada dalam genggammu, seakan kamu memintaku untuk mengikuti
langkah kakimu.
Kita telah berdiri di bawah atap
paling tepi rumahku, rinai hujan yang mengguyur bumi dan kamu yang berada di
sampingku membuatku kembali mengingat adegan dalam tulisan yang belum
kuselesaikan.
“Hujan gini keluar rumah. Gila, ya?”
pedas perkataanku itu terbalaskan tawa olehmu.
Perkataanku yang tadi itu sengaja
kusamakan dengan cerita yang kubuat, berharap tulisanku itu mewujud dalam nyata.
Berharap kamu bertindak seperti yang dilakukan tokoh lelaki dalam tulisanku
itu.
“Biarin. Haha. Tangan lo gini!” Kamu
memerintahkanku untuk menengadahkan telapak tangan ke atas, persis seperti yang
kamu tunjukkan padaku. Kali ini adegannya tidak sama dengan tulisanku, hanya
mirip. Masih ada gurat canda yang kau selipkan dalam perintahmu tadi. Aku
menuruti, tanpa ada kata.
“Setiap tetes yang jatuh ke tangan
lo itu udah dititipin rasa. Dinginnya dari tatap mata yang sering bikin gue
beku. Damainya dari sayang gue ke cewek yang sekarang ada di sebelah gue.
Sensasinya yang luar biasa itu dari cinta gue yang selalu meledak-ledak kalo
ada dia,” Inikah pertandanya? Apa ini
artinya kamu mengutarakan cintamu padaku? Apakah ini ujung dari penantianku?
“Terus?” aku berharap kamu
menyambung perkataanmu sebelumnya. Mewujudkan akhir cerita yang belum
kutuliskan, tetapi telah lama bersarang di hati dan kepalaku.
“Gue mau cewek itu jadi pacar gue,
nanti,” kamu menyorot mataku lamat-lamat. Menembus lensaku secara paksa,
seperti berusaha mencari-cari apa yang harus kamu katakan selanjutnya.
“Nanti? Bukan sekarang?”
“Bukan.”
“Terus kapan?”
“Nanti.”
“Seribu tahun lagi pun cewek itu
sanggup buat sabar nungguin lo,”
Guratan Penaku untuk #14DaysofInspiration
#IWriteToInspire (Kesabaran)