Jumat, 26 Juli 2013

Tuanku Yang Bisu



TUANKU YANG BISU

Nyanyian hatiku kini tiada
Riang gembira jadi lagu lama
Hanya bisikan yang membahana
Karena telah hidup sunyi ada senyap pula

Berkali kucoba bersenandung

Tapi kau tak pernah menyambung
Yang dulu hanya akan terkenang
Masa silam hanya dapat dipegang

Tuan, tidakkah kau merindu pada keramaian?

Tuan, tidakkah kau mendamba keriuhan?
Tuan, tak inginkah kau keluar dari keheningan?
Tuan, tak inginkah kau raib dari kebisuan?
Tuan, sadarkah kau tentang aku yang mulai bosan?
Tuan, sadarkah kau tentang aku yang ingin usaikan?
 
-Aku, yang selalu mengutuk diammu
Tiara

Jumat, 12 Juli 2013

Seribu Tahun Lagi, Mungkin


 
Seribu Tahun Lagi, Mungkin
            I have die everyday waiting for you
            Darling don’t be afraid
            I have loved you for a thousand years
            I love you for a thousand more
            (Christina Perri – A Thousand Years)
            Hai! Sedang apa kamu? Jika kamu menanyakan hal itu padaku, aku akan menjawab, “Sedang memerhatikan bayangmu yang berkeliaran di kepalaku, menanti bibirmu melontarkan rentetan aksara yang telah membuatku terjaga semalaman.”
            Hai! Apa kabarmu? Jika kamu menanyakan hal itu padaku, aku akan menjawab, “Baik. Karena aku selalu menikmati masa-masa penantianku, walau kau tak pernah memberi sedikitpun kepastian kapan akan kuakhiri ini.”
            Hai! Perlu kamu ketahui, aku akan selalu menantimu untuk menggemakan kata itu. Menikmati segala substansi rasa dari semesta, rindu yang membiru, cinta yang menggelora, penantian yang (semoga) bertepi.
            “Jangan nangis gitu dong, Ren. Tulisan lo ini engga bakal sia-sia. Percaya sama gue,” begitu katamu ketika mendapatiku bersimbah air mata karena naskah kumpulan cerpenku yang kembali dengan amplop berwarna cokelat.
            “Engga sia-sia gimana, ini uda ditolak 2 kali,” aku tetap bertahan di atas pijakanku bahwa semua yang kulakukan selama 10 tahun ini benar-benar tak ada artinya.
            “Kita jadiin semua ini beda dari yang lain,” ada kilatan dalam matamu, memancarkan sebuah keyakinan yang juga menyambarku.
            “Beda gimana?” tanyaku, masih heran dengan maksud dari perkataanmu tadi.
            “Liat aja nanti. Pokoknya kamu nulis aja terus, jangan lupa pake hati,”
            Kamu memintaku menulis dengan hati, itu artinya aku menulis tentang rasa. Untuk itu aku kembali menulis, mencurahkan segala yang ada dalam hati di atas kertas polos dengan tinta penaku yang mengalir bersama cinta kasih. Kutenun serat-serat aksara menjadi sebuah lembar kisah yang menceritakan janji dan penantian.
            Ketika jemariku dengan lincah berdansa dengan pena, aku kembali memutar rekaman masa lalu disaat kamu menyeru bahwa aksara-aksara yang kujejerkan tidak akan sia-sia. Perbincangan singkat itu telah membakar kembali semangatku hingga berkobar-kobar, membuat segala yang telah padam kembali menyala. Iya, kamu telah menyalakan kembali lampu pelitaku.
            “Rena, istirahat dulu gih, engga capek apa?!” kamu mengagetkanku yang sedang asyik merangkai cerita tentang cinta yang menjadi harapku. Segelas cokelat hangat telah kamu letakkan di sebelahku, sebelah kertas dan pena yang menjadi saksi betapa manisnya dirimu.
            “Lo emangnya engga capek?” kuberi tanya bermakna sama dengan ucapanmu tadi. Akan sengat terkejut aku jika kamu menjawabnya tidak setelah membuat sketsa gambar sebanyak itu untuk tulisanku.
            “Capek sih. Tapi semua ini tak akan sebanding denganmu,” senyum itu, senyum itu yang selalu membuatku membeku. Lengkung itu selalu kamu suguhkan untukku, kapan pun, dimana pun, walau aku sendiri tak pernah memintanya. Tapi kamu sepertinya selalu tahu apa yang kuinginkan. Kuharap kamu mengiyakan ini.
            “Halah. Lo engga pantes ngomong kayak gitu,” aku meledekmu, berusaha untuk terlihat biasa saja. Padahal sebenarnya, hatiku telah berubah warna jadi merah muda. Rasaku terbang entah kemana. Kuharap menuju hatimu.
            “Iya, si. Tapi kalo nunggu lo yang bilang bisa sampe seribu tahun gue nunggunya,” selalu saja ada balasan darimu untuk setiap celotehku, selalu ada segaris rasa yang kamu torehkan di hatiku. Kuharap nantinya ada kata ‘keramat’ itu. Aku tak membalas lagi.
            Tahukah kamu, sebaris kalimat yang mungkin terdengar sangat biasa itu telah melambungkanku. Membuatku menaruh harap terhadapmu, membuatku mengkhayalkan bagaimana nanti kamu akan mengulang lagi kalimat itu tanpa ada canda yang tersisip di antaranya.
            “Ren, ikut gue!” pergelangan tanganku telah berada dalam genggammu, seakan kamu memintaku untuk mengikuti langkah kakimu.
            Kita telah berdiri di bawah atap paling tepi rumahku, rinai hujan yang mengguyur bumi dan kamu yang berada di sampingku membuatku kembali mengingat adegan dalam tulisan yang belum kuselesaikan.
            “Hujan gini keluar rumah. Gila, ya?” pedas perkataanku itu terbalaskan tawa olehmu.
            Perkataanku yang tadi itu sengaja kusamakan dengan cerita yang kubuat, berharap tulisanku itu mewujud dalam nyata. Berharap kamu bertindak seperti yang dilakukan tokoh lelaki dalam tulisanku itu.
            “Biarin. Haha. Tangan lo gini!” Kamu memerintahkanku untuk menengadahkan telapak tangan ke atas, persis seperti yang kamu tunjukkan padaku. Kali ini adegannya tidak sama dengan tulisanku, hanya mirip. Masih ada gurat canda yang kau selipkan dalam perintahmu tadi. Aku menuruti, tanpa ada kata.
            “Setiap tetes yang jatuh ke tangan lo itu udah dititipin rasa. Dinginnya dari tatap mata yang sering bikin gue beku. Damainya dari sayang gue ke cewek yang sekarang ada di sebelah gue. Sensasinya yang luar biasa itu dari cinta gue yang selalu meledak-ledak kalo ada dia,” Inikah pertandanya? Apa ini artinya kamu mengutarakan cintamu padaku? Apakah ini ujung dari penantianku?
            “Terus?” aku berharap kamu menyambung perkataanmu sebelumnya. Mewujudkan akhir cerita yang belum kutuliskan, tetapi telah lama bersarang di hati dan kepalaku.
            “Gue mau cewek itu jadi pacar gue, nanti,” kamu menyorot mataku lamat-lamat. Menembus lensaku secara paksa, seperti berusaha mencari-cari apa yang harus kamu katakan selanjutnya.
            “Nanti? Bukan sekarang?”
            “Bukan.”
            “Terus kapan?”
            “Nanti.”
            “Seribu tahun lagi pun cewek itu sanggup buat sabar nungguin lo,”
Guratan Penaku untuk #14DaysofInspiration #IWriteToInspire (Kesabaran)