Gumpalan
putih berjatuhan dari langit, menyelimuti jalan setapak, orang-orang turun ke
jalan. Sebagian dari mereka seperti geram dengan banyaknya salju yang menutupi
jalan depan rumahnya, mereka seperti mengusir salju itu dari sana. Sementara
anak-anak mereka sibuk bermain salju, mungkin dalam hatinya anak itu ingin
berkata “Itu mainan kami, jangan diambil!”
“Aku
ingin seperti mereka, bu.” Ujarku pada ibu yang tengah asyik dengan buku
bacaannya.
“Kau
tahu keadaanmu, Natha.” Ibu menjawab seadanya lalu beranjak pergi. Aku tahu ia
menghindari perkataanku selanjutnya.
Aku
sudah terbiasa dengan hal seperti ini, termangu-mangu sendiri ketika mendengar
sebayaku bermain penuh gelak tawa. Awalnya memang ini menjadi pukulan telak
bagiku, tapi 7 tahun ini aku mulai mengerti dengan semua kejadian ini. Hidup
sendiri, tak kemana-mana.
Jendela
ini adalah benda kesukaanku. Karena dengan benda ini aku dapat melihat mereka
bermain, tertawa, mungkin saling ejek. Aku melempar pandangan pada sesuatu yang
menyala-nyala, tak sulit untuk kujangkau. Berkobar-kobar penuh semangat, tetap
menyala di musim dingin seperti ini. Api. Aku terbang ke masa lalu, membuka
kembali kitab semesta yang pernah ditulis dengan wujudku bertahun-tahun
lamanya. Aku halaman hidup!
☃
Keluarga Michelle bergegas menuju
gereja untuk Misa Natal, bahagia. Aku pun tak luput dari segala kegembiraan
ini. Layaknya anak 8 tahun lainnya aku berlari-lari keliling rumah, tidak jelas
mau ke mana. Aku menarik-narik ujung dress
Ibuku, merengek agar ia bergerak lebih cepat lagi, aku tak sabar menuju
gereja. Sebenarnya bukan tak sabar menuju gereja untuk Misa, tapi tak sabar
ingin membuka kado natal keesokan hari setelah Misa.
“Kalian tak lupa sesuatu?” tanya
Ayah saat kami semua sudah keluar dari rumah sebelum ia mengunci pintu.
“Tidak ada yang terlupa, ayah.
Cepatlah, aku tak sabar untuk natal ini!” lengosku kesal.
Salju-salju telah merayuku untuk
menjamah mereka. Tapi Ayah melarangku untuk bermain salju di malam hari,
katanya “Salju malam tak baik untuk anak kecil.”
“Berarti aku harus besar, ya?”
dengan kepolosan khas anak-anak aku bertanya pada Ayah.
Ayah hanya mengangguk, lalu Ibu
angkat bicara, “Ya, setelah besar, kau boleh bermain salju sesukamu.” Aku jadi
kegirangan karena ucapan Ibu. Aku melompat-lompat tak jelas, lantai-lantai
rumah ibarat trampoline yang
melontarkanku ke atas.
“Kau masih mau melompat-lompat?”
tanya Ayah lagi. Aku menoleh pada Ayah, heran karena pertanyaannya barusan.
“Tidak. Aku mau ke gereja!” setelah
mengerti aku menjawabnya dengan bersorak-sorai. Ayah dan Ibuku di dera tawa,
dan di saat seperti ini aku mulai merasakan ada kupu-kupu yang menari di dalam
perutku.
Kami berjalan kaki menuju gereja.
Kata ibu, ini sudah menjadi kebiasaan. Setiap ke gereja, keluarga kami memang
memutuskan untuk tidak mengunakan mobil. Aku berlari di sepanjang perjalanan,
sesekali Ibu memberi tahuku kalau-kalau ada mobil yang berjalan di sekitarku.
Sesuatu yang putih terus menerus
turun bergugusan dari langit, perlahan tapi pasti menjadi semakin banyak dan
menutupi jalan. Dedaunan pohon-pohon cemara yang menghiasi pinggiran jalan
terlihat ditutupi salju, tapi lampu berwarna-warni masih lebih mendominasi
disana. Di ujung mataku, aku melihat sebuah pohon cemara di seberang jalan yang
penuh lampu-lampu penuh warna khas pohon natal. Tapi pohon ini lebih besar dari
yang lain, di puncaknya ada sebuah bintang berwarna kuning keemasan. Sangat
indah.
Aku berlari menuju pohon itu tanpa
izin dari Ibu, dan menyebrang tanpa melihat keadaan, tiba-tiba sebuah mobil
datang dari arah kiri dengan laju yang kencang di jalan licin, dan mobil
tersebut menabrak ku, aku berteriak memanggil ibu, dari arah berlawanan ibu
berlari menuju tempat ku. Aku seperti lumpuh dan tidak berdaya.
☃
Rak-rak buku tinggi menghiasi
kamarku, novel-novel klasik bertengger manis disana, dari masa ke masa, dari ”A Walk To Remember” milik Nicholas Sparks hingga berbagai seri “Twilight” dari Stephenie Meyer. Sebuah cermin besar
yang memenuhi satu sisi dinding sekarang berada di hadapanku.
“NATHALIE MICHELLE SEORANG
PECUNDANG!!” aku berteriak. Menangis sejadi-jadinya, kulempar barang-barang
yang ada di sekitarku. Tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanyut
terbawa emosi. Tak lagi dapat kubendung semua ini. Aku benci hidup! Tuhan tak
adil! Tuhan tak adil!
Kenapa aku yang harus menerima
semua ini? Kenapa cobaan sebesar ini diberikan untuk gadis 15 tahun yang sama
sekali tak mengerti apapun tentang dunia? Ini semua benar-benar tak berujung.
Segalanya tak akan menguap seperti embun di dedaunan yang menguap terkena
cahaya matahari lalu menghilang. Aku muak dengan dunia!
“AKU MAU MATI SAJA!!!” teriakku
sekeras mungkin.
Ibu masuk ke kamarku dengan
bersimbah air mata, mungkin ia mengerti perasaanku saat ini. Perlahan ia
berjalan mendekat, merengkuhku masuk dalam pelukannya. Aku terkulai tak
berdaya, hangat pelukan Ibu melebur dalam diriku.
“Tuhan benar-benar tak adil, bu”
air mataku terus menerus mengalir, pulupuk mataku tak lagi kuasa membendung
sekumpulan cairan itu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ibu. Ia
terdiam membisu dan lebih dalam lagi menenggelamkanku dalam dekapnya.
☃
Sang surya menggelincir ke arah
timur, keluar dari persemayamannya di barat. Tapi kali ini ia berbeda, sama
sekali tak ada pakaian cahaya yang penuh gemerlap seperti yang selalu ia
kenakan. Tentu saja karena ini adalah musim dingin. Cahaya yang selalu menembus
jendela kamarku terhalang oleh salju tebal yang menumpuk disana.
Kuraih syal ungu bergaris putih
yang tergantung di balik pintu kamarku. Aku menyisiri rambutku setelah syal
kesayanganku ini terlilit sempurna di leher jenjangku. Aku memutar roda
kursiku, kuharap ada seseorang yang tak pergi merayakan natal di gereja. Tentu
untuk menemaniku di rumah.
“Natha, kau tidak mau ikut?” tanya
Ibu padaku, ia masih merapikan bajunya.
“Tidak, bu. Aku takut semuanya
terulang kembali.” Aku menunduk, takut menatap Ibu.
“Mungkin Tuhan memberi cobaan
sebesar ini karena kau jarang mengunjungi rumah-Nya.” Balas Ibu lalu masuk ke
kamarnya.
Ucapan Ibu kali ini merasuk
kalbuku. Aku benar-benar tak menyadari semua ini, menyadari hukum timbal balik
dari Tuhan. “Aku ikut, bu!”
Suasana natal masih seperti 7 tahun
lalu. Aku, Ayah, dan Ibu tidak menggunakan mobil menuju gereja. Tapi segalanya
tentu tidak sama persis, aku tak lagi mampu melompat-lompat kegirangan karena
natal, tak lagi berlari-lari karena melihat pohon natal yang paling besar di
tepi jalan. Keadaanku berubah.
Ibu mendorong kursi rodaku dari
belakang. Ayah tak berbicara sedikit pun sejak tadi. Tapi kutahu ia bahagia
hari ini, hari ini adalah hari pertamaku ikut bersama mereka untuk merayakan
natal di gereja sejak 7 tahun lalu. Sejak peristiwa itu terjadi.
☃
Mataku menangkap sesosok berbeda
dari manusia-manusia yang sedang melihat jadwal ibadah di gereja ini. Ia
berbeda. Indera penglihatannya dipayungi sepasang alis berwarna senada dengan
rambutnya. Terlihat sangat teduh. Kedua ujung bibirnya tertarik bersamaan,
membentuk sebuah senyum di wajahnya.
“Natha, ayo kita pulang.” Ibu
mendorong kursi rodaku kembali, menuju rumah. Tetapi pandangku masih tak bisa
lepas darinya, mataku masih mengekor pada punggungnya yang perlahan menjauh.
Mungkin ia akan datang ke sini lagi nanti malam.
☃
Aku mengenakan
syalku, sweater berwarna cokelat
sedari tadi telah menghangatkan tubuhku. Dengan penuh rasa penasaran dan tekad
yang telah bulat, aku pergi ke gereja tadi. Malam ini! Tentu tanpa
sepengetahuan orang rumah.
Tak sabar aku
untuk kembali ke gereja itu, untuk melihatnya kembali. Aku sudah mampu melihat
bangunan besar itu di ujung mataku. Sedikit lagi aku sampai disana. Dan, ya,
aku sudah sampai! Tapi apa yang kudapatkan? Hasilnya nihil! Ia tak ada disini!
Aku menyesal! Aku telah berjuang untuk sesuatu yang tak pasti. Aku terlalu
bodoh.
“Tuhan, sampai
kapan aku seperti ini? Aku ingin seperti mereka. Seperti teman-temanku, bisa
tertawa, bahagia, dan tentu bisa berjalan. Tuhan, apa yang harus kulakukan
untuk menjalani hidup ini seperti mereka?” aku berdo’a pada Tuhan di bawah
pohon natal gereja.
“Tuhan, aku ingin
merasakan cinta.” Air mataku mulai berlinang.
“Aku
mencintaimu.” Terdengar suara samar-samar dari arah belakangku. Aku berbalik
badan, lalu tercengang dengan apa yang kutemui. Ia, yang sedari tadi kutunggu,
bersamaku disini.
-Karena cinta punya cara untuk datang
Goresan pena Tiara Khalisa dan Nur Hijriani Z.
Tuhan memiliki cara tersendiri untuk membalut luka hambanya.
BalasHapusSekalipun luka itu menganga begitu lebar, Dia pasti akan menutup jika sudah waktunya. :)
Terus berkarya Nur dan Ara :)
Karena Tuhan punya apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Sekalipun Tuhan tak punya itu, ia tetap akan memberi cobaan yang sebanding dengan kemampun hambanya. :) :)
HapusI'll do it!
wow.. duet ni ceritanya? Kerennnn..
BalasHapuskapan-kapan duet sama aku yok dek :D
Iya. Makasih! :)
HapusSipOke, tante, eh, mbak. Haha :D :D
mampir nih... tulisannya apik... dan aku suka sekali sama winter.. :D hihihiih
BalasHapusHihi :D makasih kak! :) :D Okeh. Kita sama-sama suka winter. Hujan juga keren, apalagi kalo udah rainbow. :)
Hapuswinter....
BalasHapuskapan akan kupeluk engkau dengan mesra.
Eh salah tempat :P
bagus cerpennya, tapi siapakah dia? siapakah dia?
Nice story :)
Makasih Mbak Vey! :) :D Siapakah dia-nya silahkan dicari tau sendiri, dikhayalin sendiri. Hehe :D :D
Hapus