Senin, 03 Juni 2013

Mengembara Tak Tentu Arah




Begitu sunyi. Panggung kehidupan yang sejak lama kususuri semakin gelap saja. Pepohonan dan daun-daun dihatiku menari-nari berharap mentari sudi melongok sebentar saja, mengiringi langkah yang entah ke mana ini.
Kupercepat langkah. Setengah berlari kubawa gejolak tak menentu, buncahan duka, air mata yang membuat sungai kepedihan semakin tak bertepi dalam diri. Benci! Amarah! Kejam yang membara sejak aku belum dilahirkan, hingga aku hampir saja mati rasa.
“Kau selalu saja seperti ini! Kapan kau berubah, Sheila?” Ibu memarahiku, membentakku. Aku tak mampu berontak, tak tahu bagaimana cara membalasnya. Bak hilang segala aksara
“Kau dan kakakmu benar-benar tak sama, dia lebih baik, lebih dewasa. Tak seperti kau yang tak sadar berapa usiamu sekarang!” Dan yang paling tak kusukai dari ibu adalah ia yang selalu membanding-bandingkan. Tapi sebenarnya aku tak selalu tak suka dengan sifat Ibu yang ini, ketika ia membandingkanku dengan Shelia –kembaranku. Hatiku tersenyum.
*
Rambut panjang Shelia terlihat menyuguhkan tarian mempesona. “Aku benci sama ibu!” gerutuku di dalam kamar, Shelia menanggapi dengan senyuman.
“Ibu itu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.” Perkataan Shelia itu membuatku semakin muak.
“Yang ibu mau itu aku jadi kamu, seperti kamu! Kamu yang inilah, itulah. Buat Ibu itu kamu yang terbaik!” pelupuk mataku tak lagi mampu membendung air mata.
“Coba kau ingat beberapa tahun lalu, saat kau selalu diistimewakan ibu. Setiap saat ibu mendapati rambutmu tak disisir, ia akan menyisirinya. Ketika kita berumur 10 tahun dan ibu membeli dua baju berwarna merah jambu dan kuning, aku ingin baju merah jambu itu, tetapi ibu memberikannya untukmu. Kau tahu, ibu sangat menyayangimu.” Tangisku mulai menjadi-jadi. Aku seperti membuka kembali lembaran usang yang pernah ditoreh pena bertintakan kasih sayang.
“Ah. Sudahlah, kau sama saja dengan ibu!”
“Sikapmu kali ini yang tak disukai ibu.” Sama sekali tak ada emosi dalam raut wajah Shelia. Ia sangat tenang.
Diam-diam aku memang mengagumi Shelia, parasnya yang cantik rupawan, tutur katanya yang manis. Aku bahkan menganggap Tuhan menciptakan manusia dengan ‘menyaring’nya terlebih dahulu. Seperti membuat santan dari kelapa yang telah diparut, Tuhan memeras kelapa yang telah direndam air beberapa saat di atas saringan, lalu dari sana akan mengucur air berwarna putih yang kemudian diberi nama santan, sedangkan di atas saringan itu telah disisakan ampasnya.
Dalam hal ini, aku adalah ampasnya.
“Apa yang harus kulakukan?”
*
            Beberapa hari ini Shelia selalu mengajariku berbagai hal, mulai dari bagaimana menata rambutku agar terlihat lebih menarik. Mengajari berbicara lebih baik, sedikit lebih sopan pada orang lain, menata hatiku yang pernah hancur. Cara menjadi lebih baik setelah matahari terbit esok. Dan, sedikit demi sedikit aku berubah, rasanya aku menjadi lebih mirip Shelia. Pengembaraan mencari diriku yang tak tentu arah berakhir karenanya.
            “Kau kenapa Sheila?” tanya ibu tiba-tiba dari balik pintu ketika aku sedang tertawa-tawa bersama kembaranku.
            “Hanya sedang bercerita dengan Shelia, bu.”
            “Memangnya Shelia dimana?” Aku menunjuk cermin dihadapanku.
“Sadarlah sayang. Ibu berkali-kali bilang, hentikan halusinasimu. Shelia sudah tak ada.” Ibu mulai meneteskan air mata.
“Dengar aku, bu, Shelia yang telah membuatku berubah!”


-Dariku yang tak pernah melepas pena
Tiara-

4 komentar: