Begitu sunyi. Panggung kehidupan yang sejak lama kususuri semakin gelap saja. Pepohonan dan daun-daun dihatiku menari-nari berharap mentari sudi melongok sebentar saja, mengiringi langkah yang entah ke mana ini.
Kupercepat langkah. Setengah berlari kubawa gejolak tak
menentu, buncahan duka, air mata yang membuat sungai kepedihan semakin tak
bertepi dalam diri. Benci! Amarah! Kejam yang membara sejak aku belum
dilahirkan, hingga aku hampir saja mati rasa.
“Kau selalu saja seperti ini! Kapan kau berubah, Sheila?”
Ibu memarahiku, membentakku. Aku tak mampu berontak, tak tahu bagaimana cara
membalasnya. Bak hilang segala aksara
“Kau dan kakakmu benar-benar tak sama, dia lebih baik, lebih
dewasa. Tak seperti kau yang tak sadar berapa usiamu sekarang!” Dan yang paling
tak kusukai dari ibu adalah ia yang selalu membanding-bandingkan. Tapi
sebenarnya aku tak selalu tak suka dengan sifat Ibu yang ini, ketika ia
membandingkanku dengan Shelia –kembaranku. Hatiku tersenyum.
*
Rambut panjang Shelia terlihat menyuguhkan tarian mempesona.
“Aku benci sama ibu!” gerutuku di dalam kamar, Shelia menanggapi dengan
senyuman.
“Ibu itu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.”
Perkataan Shelia itu membuatku semakin muak.
“Yang ibu mau itu aku jadi kamu, seperti kamu! Kamu yang
inilah, itulah. Buat Ibu itu kamu yang terbaik!” pelupuk mataku tak lagi mampu
membendung air mata.
“Coba kau ingat beberapa tahun lalu, saat kau selalu
diistimewakan ibu. Setiap saat ibu mendapati rambutmu tak disisir, ia akan
menyisirinya. Ketika kita berumur 10 tahun dan ibu membeli dua baju berwarna
merah jambu dan kuning, aku ingin baju merah jambu itu, tetapi ibu
memberikannya untukmu. Kau tahu, ibu sangat menyayangimu.” Tangisku mulai
menjadi-jadi. Aku seperti membuka kembali lembaran usang yang pernah ditoreh pena bertintakan kasih sayang.
“Ah. Sudahlah, kau sama saja dengan ibu!”
“Sikapmu kali ini yang tak disukai ibu.” Sama sekali tak ada
emosi dalam raut wajah Shelia. Ia sangat tenang.
Diam-diam aku memang mengagumi Shelia, parasnya yang cantik
rupawan, tutur katanya yang manis. Aku bahkan menganggap Tuhan menciptakan
manusia dengan ‘menyaring’nya terlebih dahulu. Seperti membuat santan dari
kelapa yang telah diparut, Tuhan memeras kelapa yang telah direndam air
beberapa saat di atas saringan, lalu dari sana akan mengucur air berwarna putih
yang kemudian diberi nama santan, sedangkan di atas saringan itu telah
disisakan ampasnya.
Dalam hal ini, aku adalah ampasnya.
“Apa yang harus kulakukan?”
*
Beberapa
hari ini Shelia selalu mengajariku berbagai hal, mulai dari bagaimana menata
rambutku agar terlihat lebih menarik. Mengajari berbicara lebih baik, sedikit
lebih sopan pada orang lain, menata hatiku yang pernah hancur. Cara menjadi
lebih baik setelah matahari terbit esok. Dan, sedikit demi sedikit aku berubah,
rasanya aku menjadi lebih mirip Shelia. Pengembaraan mencari diriku yang tak
tentu arah berakhir karenanya.
“Kau kenapa
Sheila?” tanya ibu tiba-tiba dari balik pintu ketika aku sedang tertawa-tawa
bersama kembaranku.
“Hanya
sedang bercerita dengan Shelia, bu.”
“Memangnya
Shelia dimana?” Aku menunjuk cermin dihadapanku.
“Sadarlah sayang. Ibu berkali-kali bilang, hentikan
halusinasimu. Shelia sudah tak ada.” Ibu mulai meneteskan air mata.
“Dengar aku, bu, Shelia yang telah membuatku berubah!”
-Dariku yang tak pernah melepas pena
Tiara-
Terus berkarya Sayang :)
BalasHapusIya, mbakku sayang! :D Makasih buat semuanya. :)
HapusHem, bagus diksinya.
BalasHapusSalam berkarya!
@idhampm
Terima kasih. :) Salam kenal. Salam literasi. :D
Hapus