Rabu, 10 Juli 2013

Salahkah Percayaku?


Salahkah Percayaku?

            ‘Cause everything start from something
But something would be nothing
Nothing if your heart didn’t dream with me
Where would I be, if you didn’t believe
            (Justin Bieber-Believe)

            “Ca, ngopi ayo!” katanya sembari menarik pergelangan tanganku, seakan memaksa langkahku untuk mengikutinya menuju tempat yang menurut lelaki itu, tongkrongan murah meriah.

            “Lo tau gue enggak minum kopi, masih maksa juga!” berusaha kutepis genggam tangannya yang pastinya lebih kuat dariku. Ia tertawa, lebih mengeratkan tangannya di pergelanganku.

            Aku memicingkan mata, memandangnya seolah ada api yang berkobar-kobar dalam mataku hingga buatnya mengurungkan niat membawaku ke warung kopi yang berada tepat di seberang jalan. Ia kembali tergelak, “Gayamu, Ca. Hahaha.”

            Akhirnya aku terpaksa mengikutinya ke warung kopi itu, walau jalanku seperti diseret-seret olehnya. Aku tak pernah merasa nyaman saat bersamanya di warung kopi. Bagaimana tidak? Aroma khas yang dikeluarkan dari cerutu yang berada dalam genggam sebagian besar pengunjungnya sangat mengganggu penciumanku, belum lagi suara-suara yang menggelegar seenaknya itu seperti mengganggap tempat ini hak milik sendiri.

            Tapi apa boleh buat, jika aku mengeluhkan semua itu padanya, ia hanya memberiku jawaban yang sama sekali tak memuaskan, “Udah, biasa aja kek. Namanya juga anak muda.” Ingin aku pulang saja, membiarkannya menggeluti segala kegiatan yang sama sekali tidak selaras denganku. Tapi selalu ada sesuatu dalam dada yang membuatku tak sepenuh hati melakukannya; aku ingin bersamanya.

            “Ca, foto-foto bentar sama aku!” dalam katanya itu ada sebersit semangat yang menggelora, menurutku. Entah karena apa ajakan itu mampu membuatku berhenti mematut diri pada laptop yang menampilkan lembar kosong aplikasi pengolah kata.

            “Besok, ya. Deadlineku ini loh, udah deket, padahal masih kosong,” akhirnya kutolak ajakannya itu, walau sebenarnya aku memang tertarik. Tapi tulisanku ini lebih mendesak, tidak rela rasanya aku meninggalkan lembar kosong di monitor laptopku demi berfoto dengannya. Toh, masih ada hari esok.
            Rambut panjang legam milikku sengaja digerai, sebuah jepit pita kecil kukenakan untuk menahan poni yang bisa menutupi seluruh wajahku. Usiaku yang sebentar lagi masuk seperlima abad tidak menjamin aku mengenal berbagai macam alat perawatan wajah, aku hanya bersahabat dengan bedak tabur yang biasanya digunakan anak bayi. Lucu, memang. Tapi kau selalu membuatku bangga tentang ini. Kau juga lucu, menurutku.
Untuk : Tian   
Gue jalan sendiri atau dijemput?
            Tinggi harapku ia membalasnya dan mengatakan akan segera menjemputku. Tapi setengah jam setelah pesan singkat itu dipancarkan satelit Palapa C-2 ratusan kilometer di atas sana, tak ada namanya tertera di layar ponselku. Akhirnya kuputuskan untuk pergi sendiri ke warung kopi depan kampus –langganannya.
            Setelah keluar dari penderitaan dalam angkutan umum dengan resiko peluh yang bercucuran akibat bersempit-sempit ria seperti Sarden, tak ada ia dengan laptopnya yang biasa duduk santai di meja paling sudut. Kupikir ia masih di jalan, kuputuskan untuk menunggunya barang setengah jam.
            “Satu, ya!” pintaku pada seorang pelayan yang sedang melempar pandangnya ke arahku.
            Segelas susu cokelat telah ia sajikan di atas mejaku, wanita berseragam khas pelayan warung kopi itu memang sudah hapal apa yang kuinginkan. Ia tak pernah memberiku kopi, sekalipun. Tentu karena aku bukan penikmat kopi, aku tak pernah suka dengan aromanya, tak pernah suka dengan kafeinnya. Dan, waktu itu, kali pertama kucoba meminum kopi kesukaan Tian, aku tak bisa tidur semalaman. Lalu, aku kembali punya alasan untuk tidak memasukkan kopi dalam daftar minuman yang layak untuk kukonsumsi.
            Tak ada batang hidung lelaki itu yang masuk dalam segenap edaran mataku setengah jam ini, tak ada ulasan senyumnya yang selalu dihadirkan saat bertemu denganku. Iya, karena kami tak bertemu. Kembali kukirimkan sebuah pesan singkat padanya.
Untuk : Tian   
Gue di warkop depan kampus. Lo dimana?
            Dalam selang waktu yang tidak lama, ada namanya tertera di layar ponselku. Kali ini aku percaya, ia memberiku jawaban yang memuaskan; Tunggu, gue dijalan.
Dari : Tian     
Gue di bandara, 5 menit lagi take off ke Paris. Baik-baik, Sayang. Maaf.
            Tercengang aku karena jawabnya, ia sama sekali tak pernah menceritakan sesuatu tentang Paris kepadaku, tak pernah ia selipkan nama kota itu diperbincangan kami. Lalu, sekarang ia akan pergi kesana? 5 menit lagi tanpa memberitahuku sebelumnya?
Untuk : Tian
Kok lo engga pernah cerita ke gue, Tian? Terus lo mau pergi gitu aja? Gue gabakal bisa nyusul ke bandara kalo waktunya tinggal 5 menit.
            Bebutiran halus yang beberapa saat lalu masih dibendung pelupukku telah menetes tak terkendali. Tak ada sedikitpun dalam pikirku bahwa Tian akan pergi meninggalkanku sendiri disini, tak pernah kusangka sebelumnya Tian pergi sebelum memberi sesuatu yang pasti tentang segala benih yang ia tanamkan di petak-petak rasaku, tentang segala kata yang buatku terbang jauh.
Dari : Tian     
Maaf, Caca. Gue juga gak pernah nyangka kalo foto yang pernah gue kirim bakal menang, dan gue dapet hadiahnya. Ini kesempatan gue, Ca. Engga ada kesempatan yang datang dua kali. Maaf, Sayang. Kalo engga bisa dateng gapapa kok, gue cuma sebentar disana. Baik-baik, Ca.
            Menanti. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan. Terus menantinya untuk kembali, dan ketika ia hadir kembali, aku percaya itu semua karena Tuhan menghargai apa yang kulakukan.
            Kuliahku telah selesai, kuputuskan untuk menghabisi soreku di tempat biasanya. Tempat yang selalu dapat mencairkan sedikit rinduku terhadap lelaki yang kuyakini nantinya akan menjadi fotografer handal.
            “Satu, ya!” pintaku pada seorang pelayan yang sedang melempar pandangnya ke arahku.
            Tak ada segelas susu cokelat di atas mejaku, melainkan segelas cappuccino dengan uap yang masih mengepul. Tahun lalu, sejak kepergiannya, aku terbiasa melakukan separuh kegiatannya agar rinduku tak lagi dibekukan jarak. Iya, nama itu masih ada dalam lembar ceritaku, benih rasa yang pernah ia tebar pun sampai sekarang belum mati.
            Di bawah naung langit yang penuh semburat jingga kemerahan, di antara rinduku yang perlahan menguap. Sesosok lelaki kudapat dalam sorotku, ada wanita teramat cantik yang sedang menggamit lengannya. Caranya itu berbeda dengan yang biasa kulakukan dengan Tian. Masing-masing dari mereka mengukir lengkung di bibir.
            Ya, Tian. Lelaki itu telah kembali, tapi tidak untuk kembali menyirami benih rasaku. Ia memilih untuk bersama wanita lain dan meninggalkanku. Sakit, memang. Tapi biarlah, akan kuurusi sendiri rasa ini, kubiarkan tumbuh dengan segala rekaman masa lalu yang seringkali kuputar. Toh, aku juga tak salah berharap Tian akan kembali. Iya, kembali kesini, tapi bukan dalam pelukku.
-Guratan Penaku untuk #14DaysofInspiration #IWriteToInspire (Percaya)

2 komentar: