Salahkah Percayaku?
‘Cause
everything start from something
But something
would be nothing
Nothing if your
heart didn’t dream with me
Where would I be,
if you didn’t believe
(Justin
Bieber-Believe)
“Ca, ngopi ayo!” katanya sembari menarik pergelangan tanganku,
seakan memaksa langkahku untuk mengikutinya menuju tempat yang menurut lelaki
itu, tongkrongan murah meriah.
“Lo tau gue enggak minum kopi, masih maksa juga!”
berusaha kutepis genggam tangannya yang pastinya lebih kuat dariku. Ia tertawa,
lebih mengeratkan tangannya di pergelanganku.
Aku memicingkan mata, memandangnya seolah ada api yang
berkobar-kobar dalam mataku hingga buatnya mengurungkan niat membawaku ke
warung kopi yang berada tepat di seberang jalan. Ia kembali tergelak, “Gayamu,
Ca. Hahaha.”
Akhirnya aku terpaksa mengikutinya ke warung kopi itu,
walau jalanku seperti diseret-seret olehnya. Aku tak pernah merasa nyaman saat
bersamanya di warung kopi. Bagaimana tidak? Aroma khas yang dikeluarkan dari
cerutu yang berada dalam genggam sebagian besar pengunjungnya sangat mengganggu
penciumanku, belum lagi suara-suara yang menggelegar seenaknya itu seperti
mengganggap tempat ini hak milik sendiri.
Tapi apa boleh buat, jika aku mengeluhkan semua itu
padanya, ia hanya memberiku jawaban yang sama sekali tak memuaskan, “Udah,
biasa aja kek. Namanya juga anak muda.” Ingin aku pulang saja, membiarkannya
menggeluti segala kegiatan yang sama sekali tidak selaras denganku. Tapi selalu
ada sesuatu dalam dada yang membuatku tak sepenuh hati melakukannya; aku ingin
bersamanya.
“Ca, foto-foto bentar sama aku!” dalam katanya itu ada
sebersit semangat yang menggelora, menurutku. Entah karena apa ajakan itu mampu
membuatku berhenti mematut diri pada laptop yang menampilkan lembar kosong
aplikasi pengolah kata.
“Besok, ya. Deadlineku
ini loh, udah deket, padahal masih kosong,” akhirnya kutolak ajakannya itu,
walau sebenarnya aku memang tertarik. Tapi tulisanku ini lebih mendesak, tidak
rela rasanya aku meninggalkan lembar kosong di monitor laptopku demi berfoto
dengannya. Toh, masih ada hari esok.
Rambut panjang legam milikku sengaja digerai, sebuah
jepit pita kecil kukenakan untuk menahan poni yang bisa menutupi seluruh
wajahku. Usiaku yang sebentar lagi masuk seperlima abad tidak menjamin aku
mengenal berbagai macam alat perawatan wajah, aku hanya bersahabat dengan bedak
tabur yang biasanya digunakan anak bayi. Lucu, memang. Tapi kau selalu
membuatku bangga tentang ini. Kau juga lucu, menurutku.
Untuk : Tian
Gue jalan
sendiri atau dijemput?
Tinggi harapku ia membalasnya dan
mengatakan akan segera menjemputku. Tapi setengah jam setelah pesan singkat itu
dipancarkan satelit Palapa C-2 ratusan kilometer di atas sana, tak ada namanya
tertera di layar ponselku. Akhirnya kuputuskan untuk pergi sendiri ke warung
kopi depan kampus –langganannya.
Setelah keluar dari penderitaan
dalam angkutan umum dengan resiko peluh yang bercucuran akibat bersempit-sempit
ria seperti Sarden, tak ada ia dengan laptopnya yang biasa duduk santai di meja
paling sudut. Kupikir ia masih di jalan, kuputuskan untuk menunggunya barang
setengah jam.
“Satu, ya!” pintaku pada seorang
pelayan yang sedang melempar pandangnya ke arahku.
Segelas susu cokelat telah ia
sajikan di atas mejaku, wanita berseragam khas pelayan warung kopi itu memang
sudah hapal apa yang kuinginkan. Ia tak pernah memberiku kopi, sekalipun. Tentu
karena aku bukan penikmat kopi, aku tak pernah suka dengan aromanya, tak pernah
suka dengan kafeinnya. Dan, waktu itu, kali pertama kucoba meminum kopi
kesukaan Tian, aku tak bisa tidur semalaman. Lalu, aku kembali punya alasan
untuk tidak memasukkan kopi dalam daftar minuman yang layak untuk kukonsumsi.
Tak ada batang hidung lelaki itu
yang masuk dalam segenap edaran mataku setengah jam ini, tak ada ulasan
senyumnya yang selalu dihadirkan saat bertemu denganku. Iya, karena kami tak
bertemu. Kembali kukirimkan sebuah pesan singkat padanya.
Untuk : Tian
Gue di warkop
depan kampus. Lo dimana?
Dalam selang waktu yang tidak lama,
ada namanya tertera di layar ponselku. Kali ini aku percaya, ia memberiku
jawaban yang memuaskan; Tunggu, gue
dijalan.
Dari : Tian
Gue di bandara,
5 menit lagi take
off ke Paris. Baik-baik, Sayang. Maaf.
Tercengang aku karena jawabnya, ia
sama sekali tak pernah menceritakan sesuatu tentang Paris kepadaku, tak pernah
ia selipkan nama kota itu diperbincangan kami. Lalu, sekarang ia akan pergi
kesana? 5 menit lagi tanpa memberitahuku sebelumnya?
Untuk : Tian
Kok lo engga
pernah cerita ke gue, Tian? Terus lo mau pergi gitu aja? Gue gabakal bisa nyusul
ke bandara kalo waktunya tinggal 5 menit.
Bebutiran halus yang beberapa saat
lalu masih dibendung pelupukku telah menetes tak terkendali. Tak ada sedikitpun
dalam pikirku bahwa Tian akan pergi meninggalkanku sendiri disini, tak pernah
kusangka sebelumnya Tian pergi sebelum memberi sesuatu yang pasti tentang
segala benih yang ia tanamkan di petak-petak rasaku, tentang segala kata yang
buatku terbang jauh.
Dari : Tian
Maaf, Caca. Gue
juga gak pernah nyangka kalo foto yang pernah gue kirim bakal menang, dan gue
dapet hadiahnya. Ini kesempatan gue, Ca. Engga ada kesempatan yang datang dua
kali. Maaf, Sayang. Kalo engga bisa dateng gapapa kok, gue cuma sebentar
disana. Baik-baik, Ca.
Menanti. Ya, hanya itu yang bisa
kulakukan. Terus menantinya untuk kembali, dan ketika ia hadir kembali, aku
percaya itu semua karena Tuhan menghargai apa yang kulakukan.
Kuliahku telah selesai, kuputuskan
untuk menghabisi soreku di tempat biasanya. Tempat yang selalu dapat mencairkan
sedikit rinduku terhadap lelaki yang kuyakini nantinya akan menjadi fotografer
handal.
“Satu, ya!” pintaku pada seorang
pelayan yang sedang melempar pandangnya ke arahku.
Tak ada segelas susu cokelat di atas
mejaku, melainkan segelas cappuccino dengan
uap yang masih mengepul. Tahun lalu, sejak kepergiannya, aku terbiasa melakukan
separuh kegiatannya agar rinduku tak lagi dibekukan jarak. Iya, nama itu masih
ada dalam lembar ceritaku, benih rasa yang pernah ia tebar pun sampai sekarang
belum mati.
Di bawah naung langit yang penuh
semburat jingga kemerahan, di antara rinduku yang perlahan menguap. Sesosok
lelaki kudapat dalam sorotku, ada wanita teramat cantik yang sedang menggamit
lengannya. Caranya itu berbeda dengan yang biasa kulakukan dengan Tian.
Masing-masing dari mereka mengukir lengkung di bibir.
Ya, Tian. Lelaki itu telah kembali,
tapi tidak untuk kembali menyirami benih rasaku. Ia memilih untuk bersama
wanita lain dan meninggalkanku. Sakit, memang. Tapi biarlah, akan kuurusi
sendiri rasa ini, kubiarkan tumbuh dengan segala rekaman masa lalu yang
seringkali kuputar. Toh, aku juga tak salah berharap Tian akan kembali. Iya,
kembali kesini, tapi bukan dalam pelukku.
-Guratan Penaku untuk
#14DaysofInspiration #IWriteToInspire (Percaya)
akh cerita ini :!
BalasHapusCeritanya kenapa kak?
Hapus