Sabtu, 06 Juli 2013

Seonggok Hati Yang Kau Tinggalkan




Seonggok Hati Yang Kau Tinggalkan
-Inikah yang direncanakan Tuhan?-

           
Hari ini, 2 Maret. Semalam suntuk aku terjaga karena tak sabar untuk bertemu dengannya hari ini, sebuah kotak yang telah tebungkus rapi sudah ada di genggamku, bahkan berada di atas ranjangku.
            Mentari mulai menyembul dari peraduannya, menyambutku yang sedang sumringah karena berjuta rasa yang menggeliat-geliat dalam dada. Hujan deras yang malam tadi menghantam bumi menyisakan bulir-bulir yang mengendap di kaca jendelaku, seperti cintanya yang kala itu menghantam hatiku, hingga kini masih mengendapkan rasa yang kian membesar. Aku bersenandung suka cita menyambar handukku lalu berlari menuju kamar mandi, layaknya ia yang tanpa berpikir panjang menyambar cintaku yang di hari itu tak termiliki.
            Aku memijaki jalan masuk kampus dengan sangat bersemangat, aku tahu dia sudah ada di dalam sana. Menantiku di perpustakaan seperti biasanya, mungkin bersama komik Shinchan yang setia bersamanya atau dengan buku khas anak fakultas hukum yang lagi-lagi hanya untuk menutupi komik Shinchan yang ia geluti di baliknya.
            “Eh, kamu, udah baca komik aja.” Aku menyapa Tri riang, seperti yang selalu kulakukan. Aku memang tak terbiasa mengucap selamat pagi, terlalu manja menurutku.
            “Kamu kayak baru kenal aku kemarin.” Ia mengukir lengkung di wajahnya.
            “Tidak boleh mengobrol di perpustakaan.” Seseorang yang mejanya berada di dekatku menegur. Aku terkekeh tanpa suara, lalu duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Tri.
            Sejak pertama kali kita bertukar kalimat melalui udara, aku sudah merasa akan ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Aku sudah yakin, Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah dengan pertemuan itu.
            “Ini,” kusodorkan sebuah koran padanya. Ia menatapku penuh tanya, aku hanya mengangguk. Berharap anggukanku itu menjawab segala isyarat tanya yang ia lontarkan.
Ketika aku disibukkan dengan tugas kuliah atau asyik melahap habis novelku, siluet wajahnya selalu saja terbayang-bayang olehku. Pelangi yang melengkung sempurna di wajahnya selalu mengingatkanku, terlebih sore itu hujan juga menyambut tujuh warna yang menghias langit. Kalimat pertama yang ia lontarkan hari itu, bahkan menginspirasiku untuk membuat puisi yang hari ini telah dimuat harian lokal.
“Ini bener kamu yang buat?” ia bertanya sangat antusias. Kutahu ia bukan penikmat puisi, bukan penggila novel. Tapi setidaknya Tri tahu apa maksudku, mungkin.
“Iya, itu ada namanya.” Jari telunjukku kuarahkan pada dua buah kata di sudut kanan atas kolom puisi.
“Aku mencintaimu, Hanum Anindita.” Harusnya aku terkejut mendengar ucapannya itu. Tapi kali ini sama sekali tak ada reaksi dalam diriku yang menyatakannya. Hanya saja, sebuah buncahan di dadaku menggeliat semakin liar, seperti ada kembang api yang meletup-letup di hadapanku. Warna-warni berpendar memenuhi penglihatanku.
“Bagus puisinya, aku suka!” sabitnya yang indah terlukis, lagi. Dan, ya, untuk kesekian kalinya, aku jatuh hati pada pemilik sabit itu.
“Iya!” balasku ceria. Kau lalu kembali menekuni komikmu.
“Hanya itukah reaksimu? Tak ada yang lain? Hanya membaca judulnya lalu berkata ‘bagus’? Bisakah kau melakukan yang lebih dari itu untuk membuat rasaku melambung? Atau komik yang telah kau baca berulang-ulang kali itu lebih penting?” aku menggerutu dalam hati. Kesal dengan tingkahnya. Aku ingin ia tahu bahwa aku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kali; di hatinya.
Derasnya hujan membekap kita dalam hening, aku hanyut dengan suaranya menghantam atap. Beberapa saat lagi aku ada kuliah, tetapi guntur yang bergemuruh di luar sana membuatku tertahan dalam ruang penuh buku ini. Setidaknya aku bisa merasa tenang karena ada ia bersamaku, disini.
“Nin, mau kemana? Hujan deres banget.” Katanya memegang pergelangan tanganku. Kau tahu, dulu, saat pertama kali kau memegang pergelanganku, telah ada separuh dirimu yang masuk dalam nadiku. Mengalir bersama eritrosit-ku lalu menjadi bagian dari hidupku.
“Mau masuk kelas, ada kuliah.” Aku menjawab sambil tertunduk. Tak mampu aku menahan substansi rasa di hatiku jika menatap matanya.
“Apa?” ia bertanya dengan suara yang sengaja dibesarkan. Mencoba menyusup diantara suara hujan yang tak henti dan guntur yang saling bersahutan.
“Mau masuk kelas, ada kuliah!!” nada bicaraku sepertinya naik 2 oktaf, berusaha agar ia mendengar perkataanku.
“Oh.”
Cuma begitu? Pendek banget! Engga mau ngelarang aku dulu? Bilang di luar hujan kek, dingin, atau apa. Kamu emang engga peduli atau gimana si?” aku mengomel dalam hati. Lagi-lagi karena gemas dengan tingkah-polanya.
Aku membelah derasnya hujan, berjalan sendiri keluar dari perpustakaan. Dingin yang dibawa tetesnya dari kahyangan mulai merasuk dalam diriku. Gemuruh juga tak bosan-bosannya mengagetkan.
-Bersambung-

-Bersambung-

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar