Seonggok Hati Yang Kau Tinggalkan
-Inikah yang direncanakan Tuhan?-
Hari ini, 2 Maret. Semalam suntuk aku terjaga karena tak sabar
untuk bertemu dengannya hari ini, sebuah kotak yang telah tebungkus rapi sudah
ada di genggamku, bahkan berada di atas ranjangku.
Mentari mulai
menyembul dari peraduannya, menyambutku yang sedang sumringah karena berjuta
rasa yang menggeliat-geliat dalam dada. Hujan deras yang malam tadi menghantam
bumi menyisakan bulir-bulir yang mengendap di kaca jendelaku, seperti cintanya
yang kala itu menghantam hatiku, hingga kini masih mengendapkan rasa yang kian
membesar. Aku bersenandung suka cita menyambar handukku lalu berlari menuju
kamar mandi, layaknya ia yang tanpa berpikir panjang menyambar cintaku yang di
hari itu tak termiliki.
Aku memijaki
jalan masuk kampus dengan sangat bersemangat, aku tahu dia sudah ada di dalam
sana. Menantiku di perpustakaan seperti biasanya, mungkin bersama komik Shinchan yang setia bersamanya atau
dengan buku khas anak fakultas hukum yang lagi-lagi hanya untuk menutupi komik Shinchan yang ia geluti di baliknya.
“Eh, kamu, udah
baca komik aja.” Aku menyapa Tri riang, seperti yang selalu kulakukan. Aku
memang tak terbiasa mengucap selamat pagi, terlalu manja menurutku.
“Kamu kayak
baru kenal aku kemarin.” Ia mengukir lengkung di wajahnya.
“Tidak boleh
mengobrol di perpustakaan.” Seseorang yang mejanya berada di dekatku menegur.
Aku terkekeh tanpa suara, lalu duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Tri.
Sejak pertama kali kita bertukar kalimat
melalui udara, aku sudah merasa akan ada sesuatu yang terjadi di antara kita.
Aku sudah yakin, Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah dengan pertemuan
itu.
“Ini,”
kusodorkan sebuah koran padanya. Ia menatapku penuh tanya, aku hanya
mengangguk. Berharap anggukanku itu menjawab segala isyarat tanya yang ia
lontarkan.
Ketika aku disibukkan dengan tugas
kuliah atau asyik melahap habis novelku, siluet wajahnya selalu saja
terbayang-bayang olehku. Pelangi yang melengkung sempurna di wajahnya selalu mengingatkanku,
terlebih sore itu hujan juga menyambut tujuh warna yang menghias langit.
Kalimat pertama yang ia lontarkan hari itu, bahkan menginspirasiku untuk
membuat puisi yang hari ini telah dimuat harian lokal.
“Ini bener kamu yang buat?” ia
bertanya sangat antusias. Kutahu ia bukan penikmat puisi, bukan penggila novel.
Tapi setidaknya Tri tahu apa maksudku, mungkin.
“Iya, itu ada namanya.” Jari
telunjukku kuarahkan pada dua buah kata di sudut kanan atas kolom puisi.
“Aku mencintaimu, Hanum Anindita.” Harusnya
aku terkejut mendengar ucapannya itu. Tapi kali ini sama sekali tak ada reaksi
dalam diriku yang menyatakannya. Hanya saja, sebuah buncahan di dadaku
menggeliat semakin liar, seperti ada kembang api yang meletup-letup di
hadapanku. Warna-warni berpendar memenuhi penglihatanku.
“Bagus puisinya, aku suka!” sabitnya
yang indah terlukis, lagi. Dan, ya, untuk kesekian kalinya, aku jatuh hati pada
pemilik sabit itu.
“Iya!” balasku ceria. Kau lalu
kembali menekuni komikmu.
“Hanya
itukah reaksimu? Tak ada yang lain? Hanya membaca judulnya lalu berkata
‘bagus’? Bisakah kau melakukan yang lebih dari itu untuk membuat rasaku
melambung? Atau komik yang telah kau baca berulang-ulang kali itu lebih
penting?” aku menggerutu dalam hati. Kesal dengan tingkahnya. Aku ingin ia
tahu bahwa aku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kali; di hatinya.
Derasnya hujan membekap kita dalam
hening, aku hanyut dengan suaranya menghantam atap. Beberapa saat lagi aku ada
kuliah, tetapi guntur yang bergemuruh di luar sana membuatku tertahan dalam
ruang penuh buku ini. Setidaknya aku bisa merasa tenang karena ada ia
bersamaku, disini.
“Nin, mau kemana? Hujan deres
banget.” Katanya memegang pergelangan tanganku. Kau tahu, dulu, saat pertama kali kau memegang pergelanganku, telah ada
separuh dirimu yang masuk dalam nadiku. Mengalir bersama eritrosit-ku lalu
menjadi bagian dari hidupku.
“Mau masuk kelas, ada kuliah.” Aku
menjawab sambil tertunduk. Tak mampu aku menahan substansi rasa di hatiku jika
menatap matanya.
“Apa?” ia bertanya dengan suara yang
sengaja dibesarkan. Mencoba menyusup diantara suara hujan yang tak henti dan
guntur yang saling bersahutan.
“Mau masuk kelas, ada kuliah!!” nada
bicaraku sepertinya naik 2 oktaf, berusaha agar ia mendengar perkataanku.
“Oh.”
“Cuma
begitu? Pendek banget! Engga mau ngelarang aku dulu? Bilang di luar hujan kek,
dingin, atau apa. Kamu emang engga peduli atau gimana si?” aku mengomel
dalam hati. Lagi-lagi karena gemas dengan tingkah-polanya.
Aku membelah derasnya hujan,
berjalan sendiri keluar dari perpustakaan. Dingin yang dibawa tetesnya dari
kahyangan mulai merasuk dalam diriku. Gemuruh juga tak bosan-bosannya
mengagetkan.
-Bersambung-
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar