Minta Maaf Sama Allah?
“Ma, Agung
janji puasanya pol kalo Kak Ala ikut masak sahuran,” ujarnya pada Mama sambil
melirik sinis ke arahku, ia seperti tak rela melihatku bahagia dengan novel
baruku. Mama yang baru tersadar dengan ucapan Agung itu akhirnya juga menoleh
ke arahku, seperti menyerahkan giliran bicaranya padaku.
“Iya, gitu aja
kok repot,” segera kuambil alih pembicaraan, aku menyahut dengan mudahnya, “Pokoknya
besok kamu harus sampe pol. Awas, ya!” kuacungkan kepalan tanganku di udara,
kulemparkan sorot paling tajamku padanya.
Besok adalah
hari pertama ia puasa, umur adikku yang gembil pipinya itu baru 7 tahun.
Perutnya yang buncit dan selalu minta diisi membuatku yakin ia tak akan sanggup
menghentikan asupan makanan dan minumnya hingga bedug maghrib ditabuh. Tapi,
ya, kita liat saja nanti.
“Kaaak
banguuun! Katanya mau ikutan masak sahuran,” aku merasakan ada seseorang yang
mengguncang-guncang tubuhku, berteriak dengan volumenya yang bukan main di
telingaku. Jarinya pendek bulat, aku tahu itu Agung. Tidur lagi ajalah.
“Maa, kakak
engga mau bangun! Namanya diganti jadi Astuti aja. Hahaha,” telingaku menjadi
saksi perkataan Agung yang benar-benar membuat suhu darahku naik beberapa puluh
derajat celcius. Aku bukannya tak mau
bangun, aku pasti bangun, tapi tidak sekarang, dan bukan dibangunkan dia.
“Bangun woy,
bangun aku!” kutarik baju tidur yang masih ia kenakan, ia tersenyum lebar
sambil memamerkan giginya yang satu disebelah kanan telah menghitam karena
terlalu sering makan permen. Ia segera berjingkat keluar dari kamarku, menuju
dapur.
Monster kecil
yang satu itu memang tak pernah tahu bagaimana cara membiarkanku bahagia walau
sedetik, selalu ia hancurkan semuanya. Mengambil waktu membaca novelku yang
teramat susah dicari untuk keperluannya yang semudah membalikkan telapak
tangan, membiarkan suaranya yang cempreng luar biasa meletuskan balon mimpi
yang semalaman kutiup. Ah. Andai tak ada hukuman dan dosa jika membunuh orang,
telah lama ia meregang nyawa.
Langkahku
gontai menuju dapur demi mengabulkan permintaan Agung yang –dengan bodohnya-
telah kusanggupi malam tadi. Mataku masih mengerjap, tak sanggup kubulatkan
sempurna mataku untuk kembali menyorot makhluk itu dengan tajam karena telah
menertawaiku untuk kesekian kalinya sepagi ini.
“Ma, ma,
namanya Kak Ala diganti jadi Astuti aja. Asli Tukang Tidur. Hahahaha,” kembali
lagi ia puaskan dirinya menertawaiku yang masih dihinggapi rasa kantuk nyaris
tak tertahankan. Aku mengumpat dalam hati sembari memotong-motong wortel untuk
sup pesanannya.
“Wah, bagus
itu, sesuai dengan orangnya,” Mama menyahut, berpihak pada Agung dengan
meledekku. Mereka berdua tergelak, aku tersudut.
Adegan
menertawaiku sepanjang sahur tadi sukses membuat moodku hancur lebur. Kuputar otakku demi mencari perbuatan Agung
yang bisa kutertawai, dan betapa bahagianya aku jika itu bisa membuatnya
dimarahi Mama.
Di balik novel
yang kubaca, sedikit kuberi ruang agar mataku dapat mengawasi gerak-gerik
mencurigakannya yang sedari tadi menatap kulkas lamat-lama, berjalan di sekitar
kulkas yang beberapa saat lalu telah diisi Rainbow
Cake yang dibeli Papa untuk buka nanti.
“Kak,
buka masih lama, ya?”
“3
jam lagi.”
“Itu
lama, ya?”
“Lamaaaa
banget.”
Dengan
visualisasi yang menurutku telah cukup membuat Agung putus asa menanti maghrib,
kuputuskan untuk berhenti mengintainya. Dan, apa yang kudapatkan dalam waktu
yang tidak lama-
Agung makan Rainbow Cake! Ini berita yang aktual,
tajam, dan patut untuk dipercayai. Segera kutarik Mama yang tengah asyik dengan
majalahnya untuk melihat Agung dengan krim di pipi.
“Waaaaah, ada
yang makan kue, enak tuh!” aku menggoda, Agung menoleh.
“Laper, Ma.
Kata Kak Ala bukanya 3 jam lagi, Agung bisa sekurus dia kalo begini terus,”
pengakuan itu mengalir tanpa hambatan dari bibirnya.
“Iya, tapi
kemarin, kan udah janji mau sampe pol kalo Kak Ala ikutan masak?!” Mama segera
menyergapnya dengan kata-kata.
“Hehe. Maap,
Ma,” ia memasukkan lagi potongan Rainbow
Cake di tangannya ke mulut.
“Kenapa minta
maaf sama Mama, kan Mama engga pernah nyuruh puasa pol, Agung yang janji
sendiri, kan?” lembut sekali Mama berkata seperti itu pada Agung. Kalau padaku,
ia pasti sudah mengomel 7 hari 7 malam hingga telingaku pekak.
“Kak, aku
minta maaf, ya,” seketika aku tertawa karena tingkahnya itu, “Eh, engga jadi,
kata Pak Ustad kemaren, Allah yang memerintahkan kita untuk berpuasa,” lagi,
lagaknya yang seperti ini membuatku muak. Sok tua, dan sok tahu. Apalagi ia
memutuskan untuk tidak jadi meminta maaf padaku, benar-benar monster.
“Itu tau, jadi
Mama engga usah ngasih tau lagi,” Mama beranjak pergi.
“Oh, iya, jadi
Agung minta maafnya sama Allah. Tapi, caranya?” ia berujar untuk kesekian kali
dengan polosnya.
Terinspirasi dari satu Monster Kecil di rumahku yang terlalu berani meminta maaf
Guratan Penaku untuk #14DaysofInspiration #IWriteToInspire (Keberanian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar