Kamis, 11 Juli 2013

Minta Maaf Sama Allah?


Minta Maaf Sama Allah?
            “Ma, Agung janji puasanya pol kalo Kak Ala ikut masak sahuran,” ujarnya pada Mama sambil melirik sinis ke arahku, ia seperti tak rela melihatku bahagia dengan novel baruku. Mama yang baru tersadar dengan ucapan Agung itu akhirnya juga menoleh ke arahku, seperti menyerahkan giliran bicaranya padaku.

            “Iya, gitu aja kok repot,” segera kuambil alih pembicaraan, aku menyahut dengan mudahnya, “Pokoknya besok kamu harus sampe pol. Awas, ya!” kuacungkan kepalan tanganku di udara, kulemparkan sorot paling tajamku padanya.

            Besok adalah hari pertama ia puasa, umur adikku yang gembil pipinya itu baru 7 tahun. Perutnya yang buncit dan selalu minta diisi membuatku yakin ia tak akan sanggup menghentikan asupan makanan dan minumnya hingga bedug maghrib ditabuh. Tapi, ya, kita liat saja nanti.
            “Kaaak banguuun! Katanya mau ikutan masak sahuran,” aku merasakan ada seseorang yang mengguncang-guncang tubuhku, berteriak dengan volumenya yang bukan main di telingaku. Jarinya pendek bulat, aku tahu itu Agung. Tidur lagi ajalah.

            “Maa, kakak engga mau bangun! Namanya diganti jadi Astuti aja. Hahaha,” telingaku menjadi saksi perkataan Agung yang benar-benar membuat suhu darahku naik beberapa puluh derajat celcius. Aku bukannya tak mau bangun, aku pasti bangun, tapi tidak sekarang, dan bukan dibangunkan dia.

            “Bangun woy, bangun aku!” kutarik baju tidur yang masih ia kenakan, ia tersenyum lebar sambil memamerkan giginya yang satu disebelah kanan telah menghitam karena terlalu sering makan permen. Ia segera berjingkat keluar dari kamarku, menuju dapur.

            Monster kecil yang satu itu memang tak pernah tahu bagaimana cara membiarkanku bahagia walau sedetik, selalu ia hancurkan semuanya. Mengambil waktu membaca novelku yang teramat susah dicari untuk keperluannya yang semudah membalikkan telapak tangan, membiarkan suaranya yang cempreng luar biasa meletuskan balon mimpi yang semalaman kutiup. Ah. Andai tak ada hukuman dan dosa jika membunuh orang, telah lama ia meregang nyawa.

            Langkahku gontai menuju dapur demi mengabulkan permintaan Agung yang –dengan bodohnya- telah kusanggupi malam tadi. Mataku masih mengerjap, tak sanggup kubulatkan sempurna mataku untuk kembali menyorot makhluk itu dengan tajam karena telah menertawaiku untuk kesekian kalinya sepagi ini.

            “Ma, ma, namanya Kak Ala diganti jadi Astuti aja. Asli Tukang Tidur. Hahahaha,” kembali lagi ia puaskan dirinya menertawaiku yang masih dihinggapi rasa kantuk nyaris tak tertahankan. Aku mengumpat dalam hati sembari memotong-motong wortel untuk sup pesanannya.

            “Wah, bagus itu, sesuai dengan orangnya,” Mama menyahut, berpihak pada Agung dengan meledekku. Mereka berdua tergelak, aku tersudut.
            Adegan menertawaiku sepanjang sahur tadi sukses membuat moodku hancur lebur. Kuputar otakku demi mencari perbuatan Agung yang bisa kutertawai, dan betapa bahagianya aku jika itu bisa membuatnya dimarahi Mama.

            Di balik novel yang kubaca, sedikit kuberi ruang agar mataku dapat mengawasi gerak-gerik mencurigakannya yang sedari tadi menatap kulkas lamat-lama, berjalan di sekitar kulkas yang beberapa saat lalu telah diisi Rainbow Cake yang dibeli Papa untuk buka nanti.

            “Kak, buka masih lama, ya?”
            “3 jam lagi.”
            “Itu lama, ya?”
            “Lamaaaa banget.”

            Dengan visualisasi yang menurutku telah cukup membuat Agung putus asa menanti maghrib, kuputuskan untuk berhenti mengintainya. Dan, apa yang kudapatkan dalam waktu yang tidak lama-
            Agung makan Rainbow Cake! Ini berita yang aktual, tajam, dan patut untuk dipercayai. Segera kutarik Mama yang tengah asyik dengan majalahnya untuk melihat Agung dengan krim di pipi.

            “Waaaaah, ada yang makan kue, enak tuh!” aku menggoda, Agung menoleh.

            “Laper, Ma. Kata Kak Ala bukanya 3 jam lagi, Agung bisa sekurus dia kalo begini terus,” pengakuan itu mengalir tanpa hambatan dari bibirnya.

            “Iya, tapi kemarin, kan udah janji mau sampe pol kalo Kak Ala ikutan masak?!” Mama segera menyergapnya dengan kata-kata.

            “Hehe. Maap, Ma,” ia memasukkan lagi potongan Rainbow Cake di tangannya ke mulut.

            “Kenapa minta maaf sama Mama, kan Mama engga pernah nyuruh puasa pol, Agung yang janji sendiri, kan?” lembut sekali Mama berkata seperti itu pada Agung. Kalau padaku, ia pasti sudah mengomel 7 hari 7 malam hingga telingaku pekak.

            “Kak, aku minta maaf, ya,” seketika aku tertawa karena tingkahnya itu, “Eh, engga jadi, kata Pak Ustad kemaren, Allah yang memerintahkan kita untuk berpuasa,” lagi, lagaknya yang seperti ini membuatku muak. Sok tua, dan sok tahu. Apalagi ia memutuskan untuk tidak jadi meminta maaf padaku, benar-benar monster.

            “Itu tau, jadi Mama engga usah ngasih tau lagi,” Mama beranjak pergi.

            “Oh, iya, jadi Agung minta maafnya sama Allah. Tapi, caranya?” ia berujar untuk kesekian kali dengan polosnya.

Terinspirasi dari satu Monster Kecil di rumahku yang terlalu berani meminta maaf
Guratan Penaku untuk #14DaysofInspiration #IWriteToInspire (Keberanian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar