Jatuh
(Setelah) Cinta
Setiap malam aku merintih kesakitan
karena rindu yang semakin menyiksaku. Berjuta-juta aksara ingin kulemparkan
padanya, biar mereka menghunjam jantungnya. Tahukah, ini semua masih
meninggalkan kerak di relungku! Aku masih tak tahu apa yang menjadi ari semua
ini. Yang kutahu, hanyalah aku mencintainya; hingga detik ini.
❤
Aku baru saja
menghentikan perjalananku di taman bunga mimpi ketika kurasakan ponselku
bergetar.
Pagi,
Sayang. Sholat dulu deh.
Diterima
: 04.55
Dari
: Dennis
Seperti biasa,
selalu ia yang pertama kali menyapaku di pagi hari, mengingatkanku untuk
melaksanakan kewajiban. Sederhana. Tapi itulah yang membuatku jatuh untuk
kesekian kalinya, di tempat yang selalu sama; hatinya.
Kusibak kain
penutup jendela kamarku, bulir-bulir embun sisa semalam masih bertengger di
kaca jendela. Mentari belum tega mengusir mereka dari sana. Tetapi bilur-bilur
rinduku sudah menguap entah kemana saat kulihat ia menyuguhkan senyum manisnya
di seberang sana.
Senyuman yang ia
ulas setiap pagi setelah menyapaku melalui singkatnya pesan, Dennis tahu benar
aku akan berdiri di depan jendela saat baru terbangun. Kutarik kedua ujung
bibirku bersamaan, berharap yang hadir kali ini adalah senyum terindahku, walau
aku memang sudah sangat yakin ini tidak sepadan dengan senyumnya itu. Apalagi
ia punya dua cekungan kecil di kedua sisi pipinya.
Lambaian tangannya
yang kulihat dari kejauhan membuatku semakin yakin tentang rasaku ini, tentang
rasa yang beberapa bulan lalu aku dan dia akui di bawah megahnya senja.
Kulambaikan tanganku di udara, kemudian berlari untuk wudhu sebelum aku kembali beku karena Dennis yang terlampau manis.
❤
“Terus kita jadi nontonnya kapan?” tanyaku di tengah kerumunan
teman-teman yang tak pernah bosan bergelut dengan angka-angka serta bermacam
metode menyelesaikan segala permasalahan dalam segudang soal matematika.
“Minggu, tanggal 16! Kita nonton
Cinta Dalam Kardusnya Raditya Dika!” sahabatku yang cantik, tembem,
menggemaskan -yang aku lebih suka kupanggil Upik, jauh beda dengan nama aslinya
Lyana- memberi usul.
“Cakeep!” kurcaci-kurcaci yang
berkerumun ini berkata serentak, aku dan Dennis mengacungkan jempol di udara.
Tak ada seorang pun yang tahu
tentang cinta kasih yang kami jalin sejak beberapa bulan lalu. Mereka hanya
sering menggoda kami dengan teriakan-teriakan yang sering kali membuat pipiku
terasa berubah menjadi merona merah –tersipu malu. Aku memang sengaja meminta
Dennis tidak memberi tahu orang lain tentang ini, tak mau hubungan kami menjadi
bahan bicaraan teman-teman dan akhirnya terlalu syahdu seperti telenovela,
layaknya anak-anak zaman sekarang.
Hari ini rabu, seperti biasa aku
pulang terlambat 3 jam karena ada kegiatan klub matematika di sekolah. Harusnya
aku telah berada di pintu gerbang sekolah
menunggu jemputanku datang, tapi hujan rupanya tak membiarkanku pulang
begitu saja. Sementara yang lainnya telah pulang dengan tekad bulat membelah
hujan.
“Lala!” Dennis meneriakkan namaku,
memecah suara hujan yang mendengung di telinga. Aku merekahkan sebuah senyuman,
menyambutnya yang datang menghampiriku di salah satu sisi koridor.
“Aku temenin kamu nunggu deh, Pak
Slamet belum nelepon, kan.” Senyum manisnya terpampang jelas, menggambarkan ketulusan
atas ucapannya.
“Asal kamu engga bosan aja.” Balasku
singkat lalu menerbitkan sebuah senyum lagi. Aku selalu tak lupa tersenyum kala
bersamanya, tak pernah ada alasan untuk sabit itu, hanya terlukis alami tanpa
tanda tanya.
“Kan sama kamu, aku gak bakal
bosan.” Perkataannya itu diterima indera pendengaranku sebagai sedikit rayuan
gombal yang akhirnya membuat pipiku terasa membulat dan berubah warna menjadi
kemerahan.
“Tapi aku bosen nunggu sama kamu.”
Kusisipkan nada manja dalam bicaraku, lalu menyeringai puas. Ia berjalan
mendekatiku, membuat jarak yang terpaut di antara kita hanya tinggal beberapa
senti.
Jutaan bulir air seperti ditumpahkan
mengguyur bumi, membabi buta hingga tak ada sedikit pun cela untuk penciumanku
menikmati bau lain kecuali aroma khas hujan yang menyembur tanah. Dedaunan
pohon pinus yang tumbuh di area sekolah basah kuyup, bergelayut manja di batang
pohonnya.
Tangan kanan Dennis kurasakan
menyentuh lengan kananku, sebuah rasa hangat mengendap-endap masuk ke aliran
darahku. Lengan kiriku menyentuh dadanya, membuatku tahu bagaimana tempo
degupan jantungnya. Nyaman. Aku merasakan sebuah gejolak yang meletup-letupkan
api, seperti membakar sumbu kembang api yang kini tengah berpesta-pora dalam
dadaku.
“Kedinginan, kan?” ucap Dennis,
dengan nada biasa seperti sebelumnya. Tetapi aku menangkap nadanya sangat
lembut, selembut biasanya.
“Engga kok.” Aku bergeming. Berusaha
untuk tidak terlihat seperti anak manja di hadapan Dennis. Sudah cukup ia tahu
aku diantar-jemput sopir ke sekolah, kalau mau jalan sama teman-teman harus
membiarkan Mama berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Tak lagi ingin
kubiarkan dia tahu aku yang kedinginan hanya karena hujan deras.
“Gak kedinginan, cuma menggigil.”
Celotehnya dengan suara yang dibuat berbeda dari biasanya, mungkin sebagai
perwujudan aku yang sedang berbicara. Aku tertawa karena tingkahnya kali ini.
Bukan tingkahnya, harusnya karena tingkahku.
“Engga menggigil kok.” Aku tetap tak
mau kalah.
“Ya, sekarang enggak, kan dipeluk
kamu.” Ia mendekapku erat, berusaha merengkuhku lebih dalam, tapi aku menepis.
Berusaha mempertahankan posisi seperti ini, aku sangat nyaman seperti ini.
Tangannya membelai rambutku, tidak, tidak, mengacak-acak rambutku lebih
tepatnya.
“Eiya. Hehe.” Aku cengengesan, tak
tahu harus berbuat apa lagi.
Tawa kami berdua mulai mengalir
menyusup di antara suara rinai hujan yang tak henti mengguyur bumi. Aku
memundurkan kepalaku, tak sengaja mata kami bertumbukan dalam sepersekian
sekon. Sebuah senyum kembali menghiasi wajahnya, berpadu dengan manis bersama dua
buah lesung pipitnya. Aku membalas senyumnya itu.
“Kamu selamanya bakal ada buat aku,
kan?” tanyaku padanya, ragu dengan cinta yang selalu kita nikmati ini. Takut
dengan perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa cinta itu sama halnya dengan
secangkir kopi. Semakin sering disesap, semakin cepat habis. Tapi kalau diminum
pelan-pelan, nantinya dingin, dan tidak lagi nikmat untuk dinikmati.
“Aku enggak janji selamanya,
jelasnya aku ada buat kamu hari ini, besok, besok, besoknya lagi.” Tak sedikit
pun senyumnya memudar, dan aku semakin jatuh cinta dengan lelaki yang ada
bersamaku ini. Aku memeluknya, ia mendekapku.
Dapat kurasakan aroma parfum yang
bercampur dengan bau badannya mendesak masuk di hidungku, membuatku menikmatinya,
dan hanyut dalam rasa yang kian menyergap. Aku selalu jatuh cinta padanya,
tanpa satu pun alasan yang jelas. Aku hanya percaya bahwa cinta memang erat
kaitannya dengan kegilaan.
Saat pertama kali sadar bahwa sesuatu yang selalu membuat fokus
lensaku hanya tertuju padanya adalah cinta, aku telah tergila-gila padanya,
bermimpi suatu saat nanti akan masuk dalam rengkuhnya. Dan saat ini, ketika aku
benar-benar berada dalam peluknya, aku kembali gila. Gila karena aku yang tak
ingin kehilangan rasa ini; kehilangannya.
“Ini berhentinya pasti lama, kamu pake jaket ini aja buat nutupin
kepala, hujannya udah reda dikit tuh.” Dennis menyodorkan jaket yang tadi ia
ambil dari dalam ranselnya.
“Terus kamu gimana?” tanyaku setelah mengambil jaket berwarna
cokelat itu.
“Gapapa, tutup kepalamu.” Seberkas senyum lagi-lagi membuat lesung
pipit terpampang jelas di kedua sisi pipinya. Duh, manisnya kamu. Ia memang sangat manis, bukan hanya dari
wajahnya, sikapnya pun sama. Lebih manis, bahkan.
Ia basah kuyup setelah sampai gerbang sekolah, aku juga basah
sebenarnya. Jaket yang ia berikan tidak mampu menolong banyak, tapi setidaknya
kepalaku tak basah. Ia tetap menemaniku menunggu jemputan, tapi kali ini di pos
satpam sekolah. Tentu dengan satpamnya. Hingga akhirnya, Pak Slamet datang,
mengeluarkanku dari hujan yang semakin mengurung.
“Non Lala, diajak aja Si Dennis. Kan tetanggaan.” Pak Slamet tak
langsung tancap gas ketika aku telah berada di dalam mobil. Menuruti
perintahnya, kubuka kaca mobil lalu melambaikan tangan pada Dennis yang
akhirnya mendekat.
Entah apa yang membuat ini semua terjadi, seperti tak ada waktu
yang rela untuk kulalui tanpa Dennis. Yang aku tahu hanya aku dan Dennis sedang
berada dalam sebuah kapal yang mengarungi lautan cinta, ya, walau aku sedikit
takut jika nantinya akan ada gelombang yang menerpa kami.
❤
Namanya selalu terngiang-ngiang di telingaku, tak lupa wajahnya
yang selalu merupa bayang-bayang, senyumnya yang kala kuingat selalu membuatku
tersenyum juga, debaran dalam dada yang selalu tak seirama saat kuingat lagi
segala tentangnya. Ah, Dennis.
Rembulan malam selalu menjadi temanku menikmati segala sensasi
yang diciptakan substansi rasa ini ketika malam datang menjemput. Dan kali ini,
sepertinya, Dewa Langit tak membiarkanku terlalu lama dirundung sepi, ia
biarkan lagi hujannya menghunjam. Hujan.
Aku telah jatuh cinta pada hujan sebelum Dennis datang, dan setelah ia hadir
dalam hidupku, aku semakin jatuh hati pada hujan. Bilur-bilurnya seakan menyatu
dengan rinduku, membawa rindu ini terbang ke rumah yang berada tepat di depan
rumahku.
Guntur yang suaranya bergemuruh saling bersahut-sahutan, beberapa
kali terlihat kilat. Dan itu kuanggap sebagai pertanda kalau aku dan Dennis,
dilanda kekhawatiran pada yang terkasih.
Hujan, terima kasih untuk hadir menemaniku.
Biarkan aku terlelap sebentar, tolong sisipkan ia dalam mimpiku. Aku ingin
rindu ini mencair untuk sesaat. Malam.
❤
Kita
semua udah nunggu di rumah Lyana. Kamu cepetan.
Diterima
: 12.27
Dari
: Dennis
Setelah membaca pesan yang menggetarkan ponselku untuk pertama
kalinya hari ini, aku merasa lega. Sempat ada khawatir yang merasuk dalam
diriku karena sampai detik ini tak mendapat kabar dari Dennis, tak melihat ia
di balkon kamarnya. Memang terkesan berlebihan, tapi inilah rasanya ketika
sesuatu yang sudah sering terjadi -bahkan seperti ritual rutin- tak ada walau
sebentar.
Tak kubalas pesan dari Dennis itu, seribu satu kata telah
berputar-putar di kepalaku. Tapi tak satupun dari mereka yang membuat
jari-jemariku yakin untuk menari-nari di atas tombol ponsel.
Kamu perginya kenapa engga barengan
sama aku aja, Dennis? Terus kenapa pagi tadi kamu engga sms aku, tiba-tiba bilangnya
uda di rumah Lyana? Banyak sekali yang diucapkan
benakku, entah apa maksudnya. Yang kutahu jelas, itu semua adalah pertanyaan
untuk Dennis, dan semua jawabannya masih menjadi abu-abu bagiku.
Sengaja aku menolak Pak Slamet yang memang ditugaskan Mama untuk
mengantarku kemana-mana. Ingin kulihat bagaimana reaksi Dennis melihatku naik
angkutan umum sendirian ke rumah Lyana –sahabat terdekatku-, biasanya ia
melarangku.
❤
Setibaku di rumah Lyana tak ada reaksi apa pun dari mereka semua
dengan kehadiranku yang tak diantarkan Pak Slamet. Hanya sapaan biasa-biasa
saja dari keempatnya, kecuali Dennis.
“La, minum dulu. Terus kita berangkat.” Kata Lyana menunjuk
segelas minuman yang tak dijamah siapapun, lalu ia beranjak pergi. Di sudut
mataku kulihat Dennis bermain game dengan
yang lainnya, tak menggubrisku sedikitpun. Yang membuat hatiku sedikit tergerus
adalah pandang mata Dennis mengekor punggung Lyana yang menjauh pergi.
Ini biasa saja sepertinya, pengaruh terlalu cinta mungkin. Lebih
besar karena faktor takut kehilangan yang membuat Dennis seperti hanya milikku
seorang. Padahal aku sama sekali tak bisa menghalangi Dennis untuk berbaur
dengan sekelilingnya, dengan teman-temannya yang lain. Aku tak boleh egois.
“Enggak dianter Pak Slamet
kamu, La?” seorang teman mengajakku berbicara setelah sekian lama mulutku ini
tak terbuka walau sesenti. Aku tak punya satupun bahan bicara yang bisa
kulontarkan di kerumunan ini. Penemuan-penemuan Einstein, Aristoteles, dan
kawan-kawannya sudah terasa sangat membosankan bagi kami.
“Engga, tadi naik angkot.” Kucuri sedikit pandangku pada Dennis jemarinya
asik berdansa dengan tombol-tombol ponselnya. Tak ubahnya Dennis, Lyana juga
sedang bermain ponsel sambil sesekali tersenyum sendiri.
“Sekarang kita angkot aja de.” Dennis berkata entah kepada siapa,
yang kutahu itu adalah ucap pertamanya setelah aku berada di rumah ini.
“Jangan. Mobilku aja, kamu yang
nyetir, Den. Bisa, kan?” Lyana angkat bicara, akhirnya, “Lala, nggak biasa naik
angkot soalnya. Iya kan, La?” sambungnya sambil melempar tatap ke arahku. Aku
tak menjawab, geleng-angguk pun tak kuberi untuk Lyana.
Jadilah, kami berenam naik mobil
milik Lyana yang dikemudikan Dennis. Lyana duduk di sebelah kursi pengemudi. Dennis, kamu bikin aku cemburu banget.
Sumpah! Dennis dan Lyana benar-benar telah menyulut api, membuatku naik
pitam. Tapi sungguh, kebersamaan ini seperti menyetrum syaraf yang akhirnya
menjadikanku sangat malu untuk meluapkan amarahku karena-
Dennis harusnya bisa meminta salah
satu dari 3 orang anak lelaki superberisik yang seperti bertumpuk di kursi
depanku ini untuk duduk di sampingnya. Membiarkan Lyana menemaniku yang duduk
di kursi paling belakang sendirian. Tapi tak ada sedikit pun raut di wajah
Dennis yang menggambarkan ketidaksukaannya dengan situasi ini.
Yang kulihat dari pantulan cermin
yang berada di depan hanyalah senyum yang mengembang di wajah Lyana dan Dennis.
Cukup terpikat aku dengan senyum yang menghasilkan dua cekungan kecil di pipi
Dennis –seperti biasa. Tapi sabit yang di bibir Lyana itu terasa seperti
mengejekku.
Bagiku mobil terasa sangat lama
menggapai area parkir, perjalanan menyusuri Mall Panakukkang menuju bioskop pun
terasa sangat membosankan walau telah kucoba menghanyutkan diri dalam
perbincangan 3 makhluk aneh yang sangat garing ini. Pikiranku terbang
kesana-kemari, berusaha menerawang perbincangan 2 anak manusia yang sepertinya
sangat asyik karena jalan mereka sangat lambat hingga tertinggal di belakang.
Lyana dan Dennislah yang mengajukan
diri untuk mengantri tiket nonton. Sementara aku seperti melampiaskan emosi
pada es krim yang berada di kedua tanganku.
“La, entar gendut loh!” salah satu
teman menepuk-nepuk perutku yang membuncit entah sejak kapan.
“Biarin! Peduli amat!” selorohku
kesal.
❤
Film yang kami tonton tadi
sebenarnya lucu, tapi karena 2 manusia menyebalkan itu aku rasanya ikut kesal
dengan film tadi. Bukannya adegan-adengan mengocok perut yang kuingat, tetapi
adegan yang membuat darahku mendidih. Aku duduk jauh dari Lyana dan Dennis,
Dennis tergelak bersama Lyana di sudut yang jauh. Sementara aku dengan cemburu
di tapal batas memaksa diri untuk tertawa sambil tetap mengunyah popcorn dengan gemas. Ironis.
“Sakit hatiku, kamu deket-deket dia.
Sahabatku pula, lalala.” Kupetik senar gitar 12 dawaiku dengan asal, tak
satupun nada indah yang mengalir di antaranya. Aku bernyanyi dengan kesal –tapi
juntrungannya jelas, berusaha membesar-besarkan suara agar ditangkap oleh
telinga Dennis di dalam rumah seberang sana.
Ponsel yang berada di saku celana
bergetar, dalam hati ada harapku nama Dennis yang tertera di layar. Tapi
sialnya, aku kembali ingat kalau ini Minggu paling suramku, bukan dari Dennis.
Tapi Lyana! Oh, Tuhan, ada apa ini? Biasa, La, biasa. Kuhela napas panjang,
kubuang dengan kesal lalu membaca pesan yang masuk.
Lala!
Aku sekarang pacaran sama Dennis! Besok pokoknya aku traktir kamu, dimana aja.
Diterima
: 19.34
Dari
: Lyana
Lagi-lagi aku naik
pitam, segera kubalas sms Lyana. Tak ada lagi yang ingin kusembunyikan tentang
hubunganku dan Dennis.
Ogitu,
selamat, ya Upikku sayang! Gak usah traktir aku, uangnya dipake beli tisu aja.
Kamu cuma perlu tau, aku udah sama Dennis dari beberapa bulan lalu, engga ada
yang tau, dan masih sampe hari ini. SELAMAT! Kita berdua tertipu.
Terkirim
: 19.35
Untuk
: Lyana
Lima menit,
sepuluh, lima belas menit, tak ada balasan dari Lyana. Segera kuakhiri semuanya
dengan Dennis.
Dennis,
kamu uda sama Lyana, kan?! Selamat, ya. Longlast, kalian. Eiya, Lyana uda tau
semuanya kok. Tenang aja. J Kita sampe sini aja.
Terkirim
: 19.51
Untuk
: Dennis
Sejak
pertama aku dan dia mengakui semua ini, di bawah senja yang penuh gerimis di
bawah atap milik orang lain. Telah siap aku untuk sakit, telah tahu aku bahwa
ombak akan menerjang. Tapi sungguh tak kusangka akan berakhir secepat ini.
Banyak sekali luka di hatiku, hingga tak satupun tempat yang tidak kebal
sayatan. Perih sekali!
-Aku, yang selalu percaya bahwa cinta
terikat erat dengan jatuh
Tiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar