Kamis, 08 Agustus 2013

Jatuh (Setelah) Cinta



Jatuh (Setelah) Cinta
Setiap malam aku merintih kesakitan karena rindu yang semakin menyiksaku. Berjuta-juta aksara ingin kulemparkan padanya, biar mereka menghunjam jantungnya. Tahukah, ini semua masih meninggalkan kerak di relungku! Aku masih tak tahu apa yang menjadi ari semua ini. Yang kutahu, hanyalah aku mencintainya; hingga detik ini.
Aku baru saja menghentikan perjalananku di taman bunga mimpi ketika kurasakan ponselku bergetar.
Pagi, Sayang. Sholat dulu deh.
Diterima : 04.55
Dari : Dennis

Seperti biasa, selalu ia yang pertama kali menyapaku di pagi hari, mengingatkanku untuk melaksanakan kewajiban. Sederhana. Tapi itulah yang membuatku jatuh untuk kesekian kalinya, di tempat yang selalu sama; hatinya.

Kusibak kain penutup jendela kamarku, bulir-bulir embun sisa semalam masih bertengger di kaca jendela. Mentari belum tega mengusir mereka dari sana. Tetapi bilur-bilur rinduku sudah menguap entah kemana saat kulihat ia menyuguhkan senyum manisnya di seberang sana.

Senyuman yang ia ulas setiap pagi setelah menyapaku melalui singkatnya pesan, Dennis tahu benar aku akan berdiri di depan jendela saat baru terbangun. Kutarik kedua ujung bibirku bersamaan, berharap yang hadir kali ini adalah senyum terindahku, walau aku memang sudah sangat yakin ini tidak sepadan dengan senyumnya itu. Apalagi ia punya dua cekungan kecil di kedua sisi pipinya.

Lambaian tangannya yang kulihat dari kejauhan membuatku semakin yakin tentang rasaku ini, tentang rasa yang beberapa bulan lalu aku dan dia akui di bawah megahnya senja. Kulambaikan tanganku di udara, kemudian berlari untuk wudhu sebelum aku kembali beku karena Dennis yang terlampau manis.
            “Terus kita jadi nontonnya kapan?” tanyaku di tengah kerumunan teman-teman yang tak pernah bosan bergelut dengan angka-angka serta bermacam metode menyelesaikan segala permasalahan dalam segudang soal matematika.

            “Minggu, tanggal 16! Kita nonton Cinta Dalam Kardusnya Raditya Dika!” sahabatku yang cantik, tembem, menggemaskan -yang aku lebih suka kupanggil Upik, jauh beda dengan nama aslinya Lyana- memberi usul.

            “Cakeep!” kurcaci-kurcaci yang berkerumun ini berkata serentak, aku dan Dennis mengacungkan jempol di udara.

            Tak ada seorang pun yang tahu tentang cinta kasih yang kami jalin sejak beberapa bulan lalu. Mereka hanya sering menggoda kami dengan teriakan-teriakan yang sering kali membuat pipiku terasa berubah menjadi merona merah –tersipu malu. Aku memang sengaja meminta Dennis tidak memberi tahu orang lain tentang ini, tak mau hubungan kami menjadi bahan bicaraan teman-teman dan akhirnya terlalu syahdu seperti telenovela, layaknya anak-anak zaman sekarang.

            Hari ini rabu, seperti biasa aku pulang terlambat 3 jam karena ada kegiatan klub matematika di sekolah. Harusnya aku telah berada di pintu gerbang sekolah  menunggu jemputanku datang, tapi hujan rupanya tak membiarkanku pulang begitu saja. Sementara yang lainnya telah pulang dengan tekad bulat membelah hujan.

            “Lala!” Dennis meneriakkan namaku, memecah suara hujan yang mendengung di telinga. Aku merekahkan sebuah senyuman, menyambutnya yang datang menghampiriku di salah satu sisi koridor.

            “Aku temenin kamu nunggu deh, Pak Slamet belum nelepon, kan.” Senyum manisnya terpampang jelas, menggambarkan ketulusan atas ucapannya.

            “Asal kamu engga bosan aja.” Balasku singkat lalu menerbitkan sebuah senyum lagi. Aku selalu tak lupa tersenyum kala bersamanya, tak pernah ada alasan untuk sabit itu, hanya terlukis alami tanpa tanda tanya.

            “Kan sama kamu, aku gak bakal bosan.” Perkataannya itu diterima indera pendengaranku sebagai sedikit rayuan gombal yang akhirnya membuat pipiku terasa membulat dan berubah warna menjadi kemerahan.

            “Tapi aku bosen nunggu sama kamu.” Kusisipkan nada manja dalam bicaraku, lalu menyeringai puas. Ia berjalan mendekatiku, membuat jarak yang terpaut di antara kita hanya tinggal beberapa senti.

            Jutaan bulir air seperti ditumpahkan mengguyur bumi, membabi buta hingga tak ada sedikit pun cela untuk penciumanku menikmati bau lain kecuali aroma khas hujan yang menyembur tanah. Dedaunan pohon pinus yang tumbuh di area sekolah basah kuyup, bergelayut manja di batang pohonnya.

            Tangan kanan Dennis kurasakan menyentuh lengan kananku, sebuah rasa hangat mengendap-endap masuk ke aliran darahku. Lengan kiriku menyentuh dadanya, membuatku tahu bagaimana tempo degupan jantungnya. Nyaman. Aku merasakan sebuah gejolak yang meletup-letupkan api, seperti membakar sumbu kembang api yang kini tengah berpesta-pora dalam dadaku.

            “Kedinginan, kan?” ucap Dennis, dengan nada biasa seperti sebelumnya. Tetapi aku menangkap nadanya sangat lembut, selembut biasanya.

            “Engga kok.” Aku bergeming. Berusaha untuk tidak terlihat seperti anak manja di hadapan Dennis. Sudah cukup ia tahu aku diantar-jemput sopir ke sekolah, kalau mau jalan sama teman-teman harus membiarkan Mama berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Tak lagi ingin kubiarkan dia tahu aku yang kedinginan hanya karena hujan deras.

            “Gak kedinginan, cuma menggigil.” Celotehnya dengan suara yang dibuat berbeda dari biasanya, mungkin sebagai perwujudan aku yang sedang berbicara. Aku tertawa karena tingkahnya kali ini. Bukan tingkahnya, harusnya karena tingkahku.

            “Engga menggigil kok.” Aku tetap tak mau kalah.

            “Ya, sekarang enggak, kan dipeluk kamu.” Ia mendekapku erat, berusaha merengkuhku lebih dalam, tapi aku menepis. Berusaha mempertahankan posisi seperti ini, aku sangat nyaman seperti ini. Tangannya membelai rambutku, tidak, tidak, mengacak-acak rambutku lebih tepatnya.

            “Eiya. Hehe.” Aku cengengesan, tak tahu harus berbuat apa lagi.

            Tawa kami berdua mulai mengalir menyusup di antara suara rinai hujan yang tak henti mengguyur bumi. Aku memundurkan kepalaku, tak sengaja mata kami bertumbukan dalam sepersekian sekon. Sebuah senyum kembali menghiasi wajahnya, berpadu dengan manis bersama dua buah lesung pipitnya. Aku membalas senyumnya itu.

            “Kamu selamanya bakal ada buat aku, kan?” tanyaku padanya, ragu dengan cinta yang selalu kita nikmati ini. Takut dengan perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa cinta itu sama halnya dengan secangkir kopi. Semakin sering disesap, semakin cepat habis. Tapi kalau diminum pelan-pelan, nantinya dingin, dan tidak lagi nikmat untuk dinikmati.

            “Aku enggak janji selamanya, jelasnya aku ada buat kamu hari ini, besok, besok, besoknya lagi.” Tak sedikit pun senyumnya memudar, dan aku semakin jatuh cinta dengan lelaki yang ada bersamaku ini. Aku memeluknya, ia mendekapku.

            Dapat kurasakan aroma parfum yang bercampur dengan bau badannya mendesak masuk di hidungku, membuatku menikmatinya, dan hanyut dalam rasa yang kian menyergap. Aku selalu jatuh cinta padanya, tanpa satu pun alasan yang jelas. Aku hanya percaya bahwa cinta memang erat kaitannya dengan kegilaan. 

Saat pertama kali sadar bahwa sesuatu yang selalu membuat fokus lensaku hanya tertuju padanya adalah cinta, aku telah tergila-gila padanya, bermimpi suatu saat nanti akan masuk dalam rengkuhnya. Dan saat ini, ketika aku benar-benar berada dalam peluknya, aku kembali gila. Gila karena aku yang tak ingin kehilangan rasa ini; kehilangannya.

“Ini berhentinya pasti lama, kamu pake jaket ini aja buat nutupin kepala, hujannya udah reda dikit tuh.” Dennis menyodorkan jaket yang tadi ia ambil dari dalam ranselnya.

“Terus kamu gimana?” tanyaku setelah mengambil jaket berwarna cokelat itu.

“Gapapa, tutup kepalamu.” Seberkas senyum lagi-lagi membuat lesung pipit terpampang jelas di kedua sisi pipinya. Duh, manisnya kamu. Ia memang sangat manis, bukan hanya dari wajahnya, sikapnya pun sama. Lebih manis, bahkan.

Ia basah kuyup setelah sampai gerbang sekolah, aku juga basah sebenarnya. Jaket yang ia berikan tidak mampu menolong banyak, tapi setidaknya kepalaku tak basah. Ia tetap menemaniku menunggu jemputan, tapi kali ini di pos satpam sekolah. Tentu dengan satpamnya. Hingga akhirnya, Pak Slamet datang, mengeluarkanku dari hujan yang semakin mengurung.

“Non Lala, diajak aja Si Dennis. Kan tetanggaan.” Pak Slamet tak langsung tancap gas ketika aku telah berada di dalam mobil. Menuruti perintahnya, kubuka kaca mobil lalu melambaikan tangan pada Dennis yang akhirnya mendekat.

Entah apa yang membuat ini semua terjadi, seperti tak ada waktu yang rela untuk kulalui tanpa Dennis. Yang aku tahu hanya aku dan Dennis sedang berada dalam sebuah kapal yang mengarungi lautan cinta, ya, walau aku sedikit takut jika nantinya akan ada gelombang yang menerpa kami.
Namanya selalu terngiang-ngiang di telingaku, tak lupa wajahnya yang selalu merupa bayang-bayang, senyumnya yang kala kuingat selalu membuatku tersenyum juga, debaran dalam dada yang selalu tak seirama saat kuingat lagi segala tentangnya. Ah, Dennis.

Rembulan malam selalu menjadi temanku menikmati segala sensasi yang diciptakan substansi rasa ini ketika malam datang menjemput. Dan kali ini, sepertinya, Dewa Langit tak membiarkanku terlalu lama dirundung sepi, ia biarkan lagi hujannya menghunjam. Hujan. Aku telah jatuh cinta pada hujan sebelum Dennis datang, dan setelah ia hadir dalam hidupku, aku semakin jatuh hati pada hujan. Bilur-bilurnya seakan menyatu dengan rinduku, membawa rindu ini terbang ke rumah yang berada tepat di depan rumahku.

Guntur yang suaranya bergemuruh saling bersahut-sahutan, beberapa kali terlihat kilat. Dan itu kuanggap sebagai pertanda kalau aku dan Dennis, dilanda kekhawatiran pada yang terkasih.

Hujan, terima kasih untuk hadir menemaniku. Biarkan aku terlelap sebentar, tolong sisipkan ia dalam mimpiku. Aku ingin rindu ini mencair untuk sesaat. Malam.
Kita semua udah nunggu di rumah Lyana. Kamu cepetan.
Diterima : 12.27
Dari : Dennis

Setelah membaca pesan yang menggetarkan ponselku untuk pertama kalinya hari ini, aku merasa lega. Sempat ada khawatir yang merasuk dalam diriku karena sampai detik ini tak mendapat kabar dari Dennis, tak melihat ia di balkon kamarnya. Memang terkesan berlebihan, tapi inilah rasanya ketika sesuatu yang sudah sering terjadi -bahkan seperti ritual rutin- tak ada walau sebentar.

Tak kubalas pesan dari Dennis itu, seribu satu kata telah berputar-putar di kepalaku. Tapi tak satupun dari mereka yang membuat jari-jemariku yakin untuk menari-nari di atas tombol ponsel. 

Kamu perginya kenapa engga barengan sama aku aja, Dennis? Terus kenapa pagi tadi kamu engga sms aku, tiba-tiba bilangnya uda di rumah Lyana?  Banyak sekali yang diucapkan benakku, entah apa maksudnya. Yang kutahu jelas, itu semua adalah pertanyaan untuk Dennis, dan semua jawabannya masih menjadi abu-abu bagiku.

Sengaja aku menolak Pak Slamet yang memang ditugaskan Mama untuk mengantarku kemana-mana. Ingin kulihat bagaimana reaksi Dennis melihatku naik angkutan umum sendirian ke rumah Lyana –sahabat terdekatku-, biasanya ia melarangku.
Setibaku di rumah Lyana tak ada reaksi apa pun dari mereka semua dengan kehadiranku yang tak diantarkan Pak Slamet. Hanya sapaan biasa-biasa saja dari keempatnya, kecuali Dennis.

“La, minum dulu. Terus kita berangkat.” Kata Lyana menunjuk segelas minuman yang tak dijamah siapapun, lalu ia beranjak pergi. Di sudut mataku kulihat Dennis bermain game dengan yang lainnya, tak menggubrisku sedikitpun. Yang membuat hatiku sedikit tergerus adalah pandang mata Dennis mengekor punggung Lyana yang menjauh pergi.

Ini biasa saja sepertinya, pengaruh terlalu cinta mungkin. Lebih besar karena faktor takut kehilangan yang membuat Dennis seperti hanya milikku seorang. Padahal aku sama sekali tak bisa menghalangi Dennis untuk berbaur dengan sekelilingnya, dengan teman-temannya yang lain. Aku tak boleh egois.

 “Enggak dianter Pak Slamet kamu, La?” seorang teman mengajakku berbicara setelah sekian lama mulutku ini tak terbuka walau sesenti. Aku tak punya satupun bahan bicara yang bisa kulontarkan di kerumunan ini. Penemuan-penemuan Einstein, Aristoteles, dan kawan-kawannya sudah terasa sangat membosankan bagi kami.

“Engga, tadi naik angkot.” Kucuri sedikit pandangku pada Dennis jemarinya asik berdansa dengan tombol-tombol ponselnya. Tak ubahnya Dennis, Lyana juga sedang bermain ponsel sambil sesekali tersenyum sendiri.

“Sekarang kita angkot aja de.” Dennis berkata entah kepada siapa, yang kutahu itu adalah ucap pertamanya setelah aku berada di rumah ini.

            “Jangan. Mobilku aja, kamu yang nyetir, Den. Bisa, kan?” Lyana angkat bicara, akhirnya, “Lala, nggak biasa naik angkot soalnya. Iya kan, La?” sambungnya sambil melempar tatap ke arahku. Aku tak menjawab, geleng-angguk pun tak kuberi untuk Lyana.

            Jadilah, kami berenam naik mobil milik Lyana yang dikemudikan Dennis. Lyana duduk di sebelah kursi pengemudi. Dennis, kamu bikin aku cemburu banget. Sumpah! Dennis dan Lyana benar-benar telah menyulut api, membuatku naik pitam. Tapi sungguh, kebersamaan ini seperti menyetrum syaraf yang akhirnya menjadikanku sangat malu untuk meluapkan amarahku karena-

            Dennis harusnya bisa meminta salah satu dari 3 orang anak lelaki superberisik yang seperti bertumpuk di kursi depanku ini untuk duduk di sampingnya. Membiarkan Lyana menemaniku yang duduk di kursi paling belakang sendirian. Tapi tak ada sedikit pun raut di wajah Dennis yang menggambarkan ketidaksukaannya dengan situasi ini.

            Yang kulihat dari pantulan cermin yang berada di depan hanyalah senyum yang mengembang di wajah Lyana dan Dennis. Cukup terpikat aku dengan senyum yang menghasilkan dua cekungan kecil di pipi Dennis –seperti biasa. Tapi sabit yang di bibir Lyana itu terasa seperti mengejekku.

            Bagiku mobil terasa sangat lama menggapai area parkir, perjalanan menyusuri Mall Panakukkang menuju bioskop pun terasa sangat membosankan walau telah kucoba menghanyutkan diri dalam perbincangan 3 makhluk aneh yang sangat garing ini. Pikiranku terbang kesana-kemari, berusaha menerawang perbincangan 2 anak manusia yang sepertinya sangat asyik karena jalan mereka sangat lambat hingga tertinggal di belakang.

            Lyana dan Dennislah yang mengajukan diri untuk mengantri tiket nonton. Sementara aku seperti melampiaskan emosi pada es krim yang berada di kedua tanganku.

            “La, entar gendut loh!” salah satu teman menepuk-nepuk perutku yang membuncit entah sejak kapan.

            “Biarin! Peduli amat!” selorohku kesal.
            Film yang kami tonton tadi sebenarnya lucu, tapi karena 2 manusia menyebalkan itu aku rasanya ikut kesal dengan film tadi. Bukannya adegan-adengan mengocok perut yang kuingat, tetapi adegan yang membuat darahku mendidih. Aku duduk jauh dari Lyana dan Dennis, Dennis tergelak bersama Lyana di sudut yang jauh. Sementara aku dengan cemburu di tapal batas memaksa diri untuk tertawa sambil tetap mengunyah popcorn dengan gemas. Ironis.

            “Sakit hatiku, kamu deket-deket dia. Sahabatku pula, lalala.” Kupetik senar gitar 12 dawaiku dengan asal, tak satupun nada indah yang mengalir di antaranya. Aku bernyanyi dengan kesal –tapi juntrungannya jelas, berusaha membesar-besarkan suara agar ditangkap oleh telinga Dennis di dalam rumah seberang sana.

            Ponsel yang berada di saku celana bergetar, dalam hati ada harapku nama Dennis yang tertera di layar. Tapi sialnya, aku kembali ingat kalau ini Minggu paling suramku, bukan dari Dennis. Tapi Lyana! Oh, Tuhan, ada apa ini? Biasa, La, biasa. Kuhela napas panjang, kubuang dengan kesal lalu membaca pesan yang masuk.

Lala! Aku sekarang pacaran sama Dennis! Besok pokoknya aku traktir kamu, dimana aja.
Diterima : 19.34
Dari : Lyana

Lagi-lagi aku naik pitam, segera kubalas sms Lyana. Tak ada lagi yang ingin kusembunyikan tentang hubunganku dan Dennis.

Ogitu, selamat, ya Upikku sayang! Gak usah traktir aku, uangnya dipake beli tisu aja. Kamu cuma perlu tau, aku udah sama Dennis dari beberapa bulan lalu, engga ada yang tau, dan masih sampe hari ini. SELAMAT! Kita berdua tertipu.
Terkirim : 19.35
Untuk : Lyana

Lima menit, sepuluh, lima belas menit, tak ada balasan dari Lyana. Segera kuakhiri semuanya dengan Dennis.
Dennis, kamu uda sama Lyana, kan?! Selamat, ya. Longlast, kalian. Eiya, Lyana uda tau semuanya kok. Tenang aja. J Kita sampe sini aja.
Terkirim : 19.51
Untuk : Dennis

Sejak pertama aku dan dia mengakui semua ini, di bawah senja yang penuh gerimis di bawah atap milik orang lain. Telah siap aku untuk sakit, telah tahu aku bahwa ombak akan menerjang. Tapi sungguh tak kusangka akan berakhir secepat ini. Banyak sekali luka di hatiku, hingga tak satupun tempat yang tidak kebal sayatan. Perih sekali!
-Aku, yang selalu percaya bahwa cinta terikat erat dengan jatuh
Tiara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar