Melagu Ragu
Asta, lelaki
yang sampai kini tak kutahui benar siapa. Aku selalu menantimu di kebisuan, di
berjuta kilometer bentang jarak yang
semakin menjerumuskanku dalam kerinduan. Entah aku merindu sesiapa, jelasnya
selalu ada bayangmu dalam pandang mataku, selalu ada suaramu yang terngiang di
telingaku, dan sejuta senyummu di langit-langit kamarku. Semua yang kutahu
adalah kamu sebagai temanku dalam sepi yang semakin mengungkung.
~
Siapa hulu
setiap harimu, jelita? Kuharap jawabmu adalah aku. Telah lama aku berharap
menjadi segalamu, satu-satunya tempat berbagi ceriteramu, tak peduli suka atau
duka melukai, tetap hanya aku tempatmu bersandar Farah, Farahku sendiri. Untuk
dengan siapa aku berceloteh panjang-lebar tentang ruangku, tiada lagi yang
kuharap. Hanya kamu seorang. Aku terlalu senang jika kamu mengeluh padaku.
Membuat monitor laptopku basah karena airmata-kata yang dikirim olehmu, biar
langitku kelabu seperti pelangimu yang telah sirna. Aku mencintaimu, Farah
untuk segala suka-duka, cita-cinta, manis-tangis, lelah-cerah asal denganmu aku
mampu.
~
Lalu, mengapa
hingga kini masih bungkam, kasih? Tidakkah frekuensi hati kita sudah sama? Kamu
sudah lama menyesaki dadaku, bukan? Aku ialah mentari yang akan menyeruakkan
cahaya jika selimut awanku telah disibak. Ialah planet yang hanya harus berada
di ekliptikanya. Ialah senja yang akan tiba kembali esok lalu lenyap disesap
malam. Ialah aku yang hanya seorang wanita. Mengertilah, Asta! Kapasitasku
hanya mencintaimu, itu saja. Selebihnya, kamulah yang berperan. Yang harus
menuai ranum rasaku atas benih-benih yang kamu taburkan hari itu, atas yang
telah tumbuh subur disiram rayumu sepanjang kemarin.
~
Maaf, Farah.
Aku hanya tak tahu bagaimana menafsirkan debar-debar yang tak jua pudar ini,
tak kuasa menjelmakan seraut wajahmu menjadi kata. Aku bukan pujangga yang
mampu menyusun rentetan kekata nan apik untuk utarakan maksud hatinya. Bukan
musisi yang menghidupkan melodi jadi segenap penebus rasa. Bukan, Farah. Aku
hanya lelaki yang terus mencari-cari, meraba-raba radius hatimu. Walau kutahu
tak satupun akan kujangkau. Aku hanya masih menunggu angina bisikkan rasamu
padaku.
~
Kenapa, Asta?
Masih belum yakin tentang bagaimana kuartikan hadirmu? Masih ragu untuk sekian
banyak geletarku yang berbeda kala menjumpamu dalam maya? Jangan melulu diam,
Tuan. Aku tak suka denganmu yang selalu bungkam, selalu buatku gemas dengan
segala tingkah-polahmu. Tidak pernah kuinginkanmu seperti mereka yang dengan
manis meminta seorang gadis menjadi kekasihnya. Aku hanya ingin kamu membuat
segala penantianku ini tak sia-sia, menghentikan segala suara jiwa yang
meringis setiap malam karena ragu tak terdengar.
~
Bukan maksudku
menyembunyikan rasa ini dalam-dalam, Puan. Aku hanya takut dengan cintaku yang
nantinya bertepuk sebelah tangan, takut bila kamu lupa merawatnya baik-baik dan
usang di suatu waktu, bahkan salah alamat. Aku memang ragu, Farah. Ragu akanmu,
bukan akan cintamu. Mata hati kita sudah bertumbukan untuk kesekian kalinya,
namun sorotmu tak sedikitpun disapu pandangku. Ini perkara jarak! Jarak yang
hanya mampu kukutuk dengan umpatan kala rindu yang menyesatkan ini tak lagi
tertahankan, Puan.
~
Jangan pernah
menyalahkan jarak! Jarak ialah segala yang memisahkan kita, namun hati telah
membangun satu istana untuk kita rebahkan rindu di dalamnya. Jarak diciptakan
agar kita tahu seberapa mahalnya temu sepersekian sekon, agar kita tahu arti
percaya walau dusta-rayu tak luput membutakan, agar kita tahu sunyi-enyap
kesendirian juga gegap-gempita kebersamaan. Baik. Akan tetap aku mencintaimu.
Asta, walau kamu masih ragu untuk semua ini. Tapi akan tetap aku berdiri di
atas pijakanku: Mencintaimu tanpa alasan, tanpa tanya.
~
Sekali lagi
maafkan, Farah. Aku hanya tak ingin ada seberkas ragu yang menyusup di hati ini
ketika kita selangkah maju menuju cinta. Aku hanya tak ingin ada waktu kita
yang turut dinikmati prasangka lantaran jarak yang jauh terbentang. Aku hanya
tak ingin jatuh untuk kesekian kalinya. Aku mencintaimu, Farah. Ketika laut
memisahkan, ada langit yang menyatukan kita. Ketika kelunya lidah memaksa diam,
kekata akan bicara, jelita.
-Untuk kamu yang meragu
Tiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar