Sabtu, 31 Agustus 2013

Melagu Ragu


 Melagu Ragu

            Asta, lelaki yang sampai kini tak kutahui benar siapa. Aku selalu menantimu di kebisuan, di berjuta kilometer bentang jarak  yang semakin menjerumuskanku dalam kerinduan. Entah aku merindu sesiapa, jelasnya selalu ada bayangmu dalam pandang mataku, selalu ada suaramu yang terngiang di telingaku, dan sejuta senyummu di langit-langit kamarku. Semua yang kutahu adalah kamu sebagai temanku dalam sepi yang semakin mengungkung.
~
            Siapa hulu setiap harimu, jelita? Kuharap jawabmu adalah aku. Telah lama aku berharap menjadi segalamu, satu-satunya tempat berbagi ceriteramu, tak peduli suka atau duka melukai, tetap hanya aku tempatmu bersandar Farah, Farahku sendiri. Untuk dengan siapa aku berceloteh panjang-lebar tentang ruangku, tiada lagi yang kuharap. Hanya kamu seorang. Aku terlalu senang jika kamu mengeluh padaku. Membuat monitor laptopku basah karena airmata-kata yang dikirim olehmu, biar langitku kelabu seperti pelangimu yang telah sirna. Aku mencintaimu, Farah untuk segala suka-duka, cita-cinta, manis-tangis, lelah-cerah asal denganmu aku mampu.
~
            Lalu, mengapa hingga kini masih bungkam, kasih? Tidakkah frekuensi hati kita sudah sama? Kamu sudah lama menyesaki dadaku, bukan? Aku ialah mentari yang akan menyeruakkan cahaya jika selimut awanku telah disibak. Ialah planet yang hanya harus berada di ekliptikanya. Ialah senja yang akan tiba kembali esok lalu lenyap disesap malam. Ialah aku yang hanya seorang wanita. Mengertilah, Asta! Kapasitasku hanya mencintaimu, itu saja. Selebihnya, kamulah yang berperan. Yang harus menuai ranum rasaku atas benih-benih yang kamu taburkan hari itu, atas yang telah tumbuh subur disiram rayumu sepanjang kemarin.
~
            Maaf, Farah. Aku hanya tak tahu bagaimana menafsirkan debar-debar yang tak jua pudar ini, tak kuasa menjelmakan seraut wajahmu menjadi kata. Aku bukan pujangga yang mampu menyusun rentetan kekata nan apik untuk utarakan maksud hatinya. Bukan musisi yang menghidupkan melodi jadi segenap penebus rasa. Bukan, Farah. Aku hanya lelaki yang terus mencari-cari, meraba-raba radius hatimu. Walau kutahu tak satupun akan kujangkau. Aku hanya masih menunggu angina bisikkan rasamu padaku.
~
            Kenapa, Asta? Masih belum yakin tentang bagaimana kuartikan hadirmu? Masih ragu untuk sekian banyak geletarku yang berbeda kala menjumpamu dalam maya? Jangan melulu diam, Tuan. Aku tak suka denganmu yang selalu bungkam, selalu buatku gemas dengan segala tingkah-polahmu. Tidak pernah kuinginkanmu seperti mereka yang dengan manis meminta seorang gadis menjadi kekasihnya. Aku hanya ingin kamu membuat segala penantianku ini tak sia-sia, menghentikan segala suara jiwa yang meringis setiap malam karena ragu tak terdengar.
~
            Bukan maksudku menyembunyikan rasa ini dalam-dalam, Puan. Aku hanya takut dengan cintaku yang nantinya bertepuk sebelah tangan, takut bila kamu lupa merawatnya baik-baik dan usang di suatu waktu, bahkan salah alamat. Aku memang ragu, Farah. Ragu akanmu, bukan akan cintamu. Mata hati kita sudah bertumbukan untuk kesekian kalinya, namun sorotmu tak sedikitpun disapu pandangku. Ini perkara jarak! Jarak yang hanya mampu kukutuk dengan umpatan kala rindu yang menyesatkan ini tak lagi tertahankan, Puan.
~
            Jangan pernah menyalahkan jarak! Jarak ialah segala yang memisahkan kita, namun hati telah membangun satu istana untuk kita rebahkan rindu di dalamnya. Jarak diciptakan agar kita tahu seberapa mahalnya temu sepersekian sekon, agar kita tahu arti percaya walau dusta-rayu tak luput membutakan, agar kita tahu sunyi-enyap kesendirian juga gegap-gempita kebersamaan. Baik. Akan tetap aku mencintaimu. Asta, walau kamu masih ragu untuk semua ini. Tapi akan tetap aku berdiri di atas pijakanku: Mencintaimu tanpa alasan, tanpa tanya.
~
            Sekali lagi maafkan, Farah. Aku hanya tak ingin ada seberkas ragu yang menyusup di hati ini ketika kita selangkah maju menuju cinta. Aku hanya tak ingin ada waktu kita yang turut dinikmati prasangka lantaran jarak yang jauh terbentang. Aku hanya tak ingin jatuh untuk kesekian kalinya. Aku mencintaimu, Farah. Ketika laut memisahkan, ada langit yang menyatukan kita. Ketika kelunya lidah memaksa diam, kekata akan bicara, jelita.

-Untuk kamu yang meragu
Tiara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar