Jemariku masih belum juga letih, merajut kata demi kata yang
saling bertautan melukis makna. Betapa curahan jiwa dan torehan pena saling
bersinergi, menciptakan serangkaian kisah tersendiri di bilik impian yang
tersembunyi.
What
makes you so beautiful
Is
you don’t know how beautiful you are, to me
You’re
not trying to be perfect, nobody’s perfect
But
you’re to me
(Justin
Bieber ft. Carly Rae Jepsen – Beautiful)
Lantunan lagu merdu terdengar jelas olehku melalui earphone. Ah. Lagu ini mengingatkanku
tentangmu. Dulu, kau pernah satu kali menyanyikan lagu ini untukku, dengan
petikan gitar yang menyatu bersama diriku, dan senyummu yang selalu membuat
rasaku mencair.
Aku tak tahu mengapa kau pergi dari hidupku secepat ini,
gerimis hari itu mengantarkannya. Dan membuat hatiku semakin hancur. Mungkin
ini klise, terlalu sering menjadi cerita dalam drama-drama, walau aku tak
pernah menontonnya kutahu itu dari cerita teman-temanku. Tapi ini berbeda, ini
terjadi untuk pertama kalinya, bagiku.
“Sempurna!” aku sumringah. Selesai sudah aku membuat puisi
ini untukmu. Aku tahu kau tak lagi mampu membaca puisi ini, tapi aku yakin, kau
bahagia.
☂
Segera
kusibak kain penutup jendela kamarku, masih kulihat embun yang semalam menginap
di jendelaku. Mentari tampaknya belum tega mengusir mereka, sementara dedaunan
terlihat lebih cantik dengan bulir-bulir yang berada di permukaannya. Kutahu
sejak tadi embun-embun itu telah mempersiapkan diri untuk pergi kalau-kalau
diusir Si Bola Raksasa, mungkin mereka akan kembali ke kahyangan, atau meluncur
ke tanah membantu para tumbuhan berfotosintesis.
Aku segera bergegas untuk menemuimu
pagi ini, sudah tiga hari aku tak datang ke tempatmu. Hujan malam tadi telah
menyampaikan pesan darimu, mereka bilang, kau merindukanku. Satu lagi, mereka
menambahkan, senyumku itu indah. Benarkah? Kau setuju jika mereka bilang
senyumku indah? Kalau kau menjawab iya, aku akan berjanji padamu untuk selalu
tersenyum. Mungkin aku akan menyirami sabit di wajahku ini dengan cairan
pengawet agar ia tetap ada selamanya. Tapi kurasa itu berlebihan, karena dengan
kau bersamaku, aku akan selalu mengukir lengkung pelangi di bibirku.
Pantas saja bulir-bulir embun itu
masih belum pergi, ternyata langit mendung, mungkin ia juga merasakan hal yang
sama denganku. Merindu. Kau tahu, aku telah lama menantikan hari seperti ini.
Hari dimana aku tak harus pergi ke kampus, saat aku tak dipaksa Mama untuk
menemaninya ke butik.
Kupikir kau harus tahu ini, aku
libur selama tiga bulan. Biasanya kau menemaniku menghabiskan libur panjang
sehabis final seperti saat ini, walau
kita hanya menikmatinya dengan menonton pertunjukan ribuan tetes dari langit
yang terhempas ke pelataran, kita hanya menontonnya di atas balkon rumahku.
Sejak tadi Mama telah memanggilku
untuk menikmati sarapanku pagi ini, tetapi aku masih terlalu fokus dengan foto
dalam genggam. Foto yang mengabadikan dua orang manusia yang kala itu kuketahui
sedang dilanda asmara, Dua pasang tangan yang tak ada sedikit pun sela diantara
jemarinya. Jari-jari yang saling bertautan dan rupa yang dihias sabit, kupajang
indah di kamarku dengan bingkai berwarna merah. Manis sekali.
☂
If I could take away the pain
And put a smile on your face
Baby I would, Baby I would
(Justin Bieber – I Would)
Dulu,
itu lagu yang sering kau nyanyikan untukku dengan petikan dawai-dawai cintamu.
Aku biru seketika setiap mendengar lagu itu, aku merindu. Andai kau bisa
kembali bersamaku disini, aku akan meminta kau melantunkan lagu itu, lagi.
Karena itu tak mungkin, aku yang akan bernyanyi untukmu. Bukan lagu-lagu
tentang cinta seperti yang selalu kau dendangkan untukku, tidak untuk lagu yang
biasa mengalir di sela-sela kebersamaan kita. Tapi ayat-ayat suci dari
Allah-ku, ia telah berjanji padaku untuk menjagamu disana. Dan aku, akan
merapal namamu di setiap do’aku, akan kutitipkan cinta pada bulir-bulir hujan
yang kala itu membawamu pergi untuk menemanimu terbaring di bawah salib
Tuhan-mu.
-Aku yang tak henti merindu
Tiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar