Untuk kalian yang disana…
Pernahkah
kalian berjalan namun tak meninggalkan jejak? Apakah kalian telah liat rembulan
bersinar di siang hari? Sudahkah kalian saksikan senja tanpa semburat jingga
yang elok? Kalian pernah merasakan guyuran hujan tanpa sedikitpun basah
setelahnya?
Tahukah
kalian, aku pernah merasakan semua itu!
Aku berjalan
menyusuri dunia ini dengan sebuah sorot temaram dari pelita yang bahkan jauh
dari terang. Meraba-raba seisi planet tanpa tahu apa dan siapa yang ada disana.
Hidup hampir serupa dengan mereka yang Lobus
oksipitalis-nya tak berfungsi. Kulewati segala rintangan yang ada walau
akhirnya aku luka-luka, penuh darah, nanah, dan nyaris terpuruk dalam
kesendirian. Berjalan sekuat tenaga, tetapi yang kutahu, aku tak pernah meninggalkan
jejak. Hingga tak seorangpun tahu, aku berpindah tempat sepagi ini.
Rembulan yang
indah. Aku tahu, ia sangat indah, berkawan seribu gemintang di atas langit
malam. Mengukir sabit setiap saat. Tetapi, hari itu, kulihat ia termenung.
Beberapa kali kusaksikan matanya menjatuhkan bulir-bulir halus. Kala itu, ia
berbeda.
“Kau kenapa,
bulan?” begitu tanyaku. Tak tega melihatnya bersedih, hatiku bagai diiris-iris
melihat yang selalu menemaniku menangis.
“Percuma aku
ada disini, sementara mentari bersinar lebih terang.” Jawabnya dengan mata yang
terlihat sembap. Aku tahu ia kecewa, sesal dengan hidupnya.
“Kalau begitu,
kembalilah pada malammu. Kupikir kau sangat berguna disana, banyak orang
sepertiku yang membutuhkanmu. Ada juga mereka, yang butuh kau untuk
menyampaikan do’a pada yang terkasih. Kembalilah.” Aku tersenyum padanya.
Aku mungkin
bisa memberitahu bulan untuk kembali pada malam. Lalu bagaimana dengan diriku?
Aku bahkan tak tahu akan kembali pada siapa dan dimana ketika tak seorang pun
tahu aku ada disini. Mereka bahkan seperti menutup telinga dengan suara-suara
yang kukeluarkan. Atau mungkin mereka hanya menganggap suara-suaraku sebagai
gemalau yang kacau. Entah. Yang kuyakini, mereka tak tahu benar apa yang
kusuarakan.
Senjaku saat
ini, adalah senja kelabu. Tanpa sedikitpun eloknya semburat jingga yang
memanjakan Kornea milikku yang
biasanya menerima cahaya itu. Bukan senja yang selama ini kuelu-elukan di depan
siang yang membuat epidermisku
berteriak. Senja yang selalu menyambut malam yang akan menemaniku. Senja
kelabu. Senja kelam. Tanpa cahaya. Tanpa jingga.
Aku tak tahu
apa yang membuat hujan mulai menggugus ke bumi, padahal sebelumnya tak ada
pertikaian di langit. Tak satupun ada gemuruh yang tertangkap indera
pendengaranku. Tapi aku bahagia. Karena hujan ini, tak sedikitpun membuatku
basah. Sepertinya ia hanya ada untuk menenangkan hatiku yang kecewa, membuatnya
tentram dengan sensasi yang ia bawa dari kahyangan.
Aku, yang selalu terpesona dengan semburat jingga
Aku, yang selalu damai karena bilur hujan
Tiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar