Kamis, 06 Juni 2013

Gemalau Suara Kacau



Untuk kalian yang disana…

            Pernahkah kalian berjalan namun tak meninggalkan jejak? Apakah kalian telah liat rembulan bersinar di siang hari? Sudahkah kalian saksikan senja tanpa semburat jingga yang elok? Kalian pernah merasakan guyuran hujan tanpa sedikitpun basah setelahnya?

            Tahukah kalian, aku pernah merasakan semua itu!

            Aku berjalan menyusuri dunia ini dengan sebuah sorot temaram dari pelita yang bahkan jauh dari terang. Meraba-raba seisi planet tanpa tahu apa dan siapa yang ada disana. Hidup hampir serupa dengan mereka yang Lobus oksipitalis-nya tak berfungsi. Kulewati segala rintangan yang ada walau akhirnya aku luka-luka, penuh darah, nanah, dan nyaris terpuruk dalam kesendirian. Berjalan sekuat tenaga, tetapi yang kutahu, aku tak pernah meninggalkan jejak. Hingga tak seorangpun tahu, aku berpindah tempat sepagi ini.

            Rembulan yang indah. Aku tahu, ia sangat indah, berkawan seribu gemintang di atas langit malam. Mengukir sabit setiap saat. Tetapi, hari itu, kulihat ia termenung. Beberapa kali kusaksikan matanya menjatuhkan bulir-bulir halus. Kala itu, ia berbeda.

            “Kau kenapa, bulan?” begitu tanyaku. Tak tega melihatnya bersedih, hatiku bagai diiris-iris melihat yang selalu menemaniku menangis.

            “Percuma aku ada disini, sementara mentari bersinar lebih terang.” Jawabnya dengan mata yang terlihat sembap. Aku tahu ia kecewa, sesal dengan hidupnya.

            “Kalau begitu, kembalilah pada malammu. Kupikir kau sangat berguna disana, banyak orang sepertiku yang membutuhkanmu. Ada juga mereka, yang butuh kau untuk menyampaikan do’a pada yang terkasih. Kembalilah.” Aku tersenyum padanya.

            Aku mungkin bisa memberitahu bulan untuk kembali pada malam. Lalu bagaimana dengan diriku? Aku bahkan tak tahu akan kembali pada siapa dan dimana ketika tak seorang pun tahu aku ada disini. Mereka bahkan seperti menutup telinga dengan suara-suara yang kukeluarkan. Atau mungkin mereka hanya menganggap suara-suaraku sebagai gemalau yang kacau. Entah. Yang kuyakini, mereka tak tahu benar apa yang kusuarakan.

            Senjaku saat ini, adalah senja kelabu. Tanpa sedikitpun eloknya semburat jingga yang memanjakan Kornea milikku yang biasanya menerima cahaya itu. Bukan senja yang selama ini kuelu-elukan di depan siang yang membuat epidermisku berteriak. Senja yang selalu menyambut malam yang akan menemaniku. Senja kelabu. Senja kelam. Tanpa cahaya. Tanpa jingga.

            Aku tak tahu apa yang membuat hujan mulai menggugus ke bumi, padahal sebelumnya tak ada pertikaian di langit. Tak satupun ada gemuruh yang tertangkap indera pendengaranku. Tapi aku bahagia. Karena hujan ini, tak sedikitpun membuatku basah. Sepertinya ia hanya ada untuk menenangkan hatiku yang kecewa, membuatnya tentram dengan sensasi yang ia bawa dari kahyangan.


Aku, yang selalu terpesona dengan semburat jingga
Aku, yang selalu damai karena bilur hujan
Tiara

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar