Rabu, 05 Juni 2013

Bermula Dari Nama


            Aku jengah dengan semua ini!

            Aku letih dengan perputaran bumi!

            Aku ingin berlari pada program pengolah kata di laptop, tapi hatiku terlalu sakit dengan omongan mereka. Semangatku yang dahulu berkobar-kobar layaknya sang jago merah sedikit lagi padam. Mungkin ini terjadi disaat yang tidak tepat, ya, bukan pada waktunya.

            Sudah 5 hari buku pertamaku yang bertajuk Sepotong Hati terbit, aku patut bahagia dengan ini. Tapi apa yang lebih menyebalkan jika hasil karyamu dinilai menjiplak yang telah ada?  Saat puisimu sebagai media menumpahkan perasaan dibilang terlalu berlebihan. Ketika kau bahkan tak tahu tulisan mana yang serupa dengan milikmu.

            Bukannya introspeksi diri bermodalkan omongan orang, aku beralih ke dunia maya. Urung sudah niatku untuk melanjutkan naskah terbaruku. Sepintas lalu di kepalaku terbesit sesuatu yang rasanya akan membuat impi yang kurintis sejak berumur 8 tahun ini pupus. Aku berhenti menulis.

            Baru saja aku ingin mengundurkan diri dari komunitas yang beberapa bulan ini menaungiku, aku mendapat sebuah pesan di akun jejaring sosialku yang lain. “Suka nulis :)” begitu bunyi pesan yang dikirimkan seseorang untukku. Dan yang lebih mengejutkan lagi, namanya sama denganku.

Aku terbang menuju ingatan tentang beberapa hari yang lalu, ketika bukti terbit buku telah berada dalam genggam. Kulihat sesosok dara belia berlarian mengelilingi rumahnya tak jelas, ia diderai gelak tawa. Bukan menertawakan sesuatu yang lucu, tetapi tawa karena puas dengan hasil tangannya sendiri.

Mungkin aku memang seharusnya ada disini.” Hanya itu yang mampu kukatakan pada sang hati.
Kala itu, hujan mengguyur kotaku. Pasukan Hujan sepertinya menurut saja pada Dewa Langit yang memerintahkan mereka untuk turun ke bumi. Awan-awan yang biasanya serupa gumpalan kapas terbang menjadi kelabu, mungkin ia sedih karena ditinggal teman-temannya menuju bumi.

            Ia membuatku bernostalgia dengan panggilan Ara, sesuatu yang tak pernah lagi kudengar setelah satu-satunya orang yang memanggilku seperti itu pergi. 

Pembicaraan kami awalnya hanya sebatas mengenai dunia kepenulisan, hanya berputar di sekitaran lomba menulis dan bermacam-macam penerbit buku. Lalu tanpa kusadari, mengalir hingga menemui sesuatu yang hanya diketahui orang-orang terdekatku. Bahkan tidak untuk sahabatku sendiri. Aksara demi aksara yang tertuang tak lebih dari 140 karakter membuat kami semakin dekat, perlahan akrab.

Semakin banyak kalimat yang tertukar dari kami melalui Sang Maya, semakin kutemukan banyak kesamaan darinya. Aku kian berani membayangkan wujudnya yang tak pernah singgah di lensaku, rambutnya panjang berombak, kulit sawo matang yang seringkali epidermisnya ditembus terik mentari, gaya bicara dengan logat khas. Dan, tentu, sorot mata yang bersinar-sinar penuh arti.

“Mbak, hewan yang menyebabkan daun berlubang apa?” semakin dan makin berani aku bertanya tentang hal di luar batas sharing tulis menulis.

Entah apa yang memelopori hubungan kami, mungkin karena hobi yang sejalan. Atau gaya menulis yang tidak bertolak belakang? Bisa juga karena cita-cita untuk mengabdi dalam dunia kesehatan yang kebetulan sama. Atau nama yang memang serupa?

Hasrat hati untuk membuat mata kami bertumbukan mulai terasa membuncah. Gemuruh yang menggeliat-geliat karena bahagia menjadi ‘Tukang Tik’ seringkali melandaku, semakin tinggi substansi harap untuk menjadi pelayan sastra sejati dan nantinya akan bertemu dengan Sang Pemantik Semangat di sebuah acara launching buku.
Aku menyibak jendela, bulir-bulir dari langit tak henti membasahi pelataran. Padahal aku sudah di ujung bahagia, tak sabar untuk berjumpa dengannya yang selama ini hanya kutemui dalam maya. Setahun ini kami berjuang, menjadi licik untuk mencuri waktu di sela kesibukan masing-masing. Tak jarang orang tuaku menjadi kesal karena aku hanya berteman laptop, hingga skoliosis thoracalis yang menjadi bagian hidupku kambuh untuk kesekian kalinya.

Sudah lama sekali aku menunggu disini, sebentar lagi acaranya akan segera dimulai. Dan, aku masih saja menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Sudah sering aku menoleh pada pintu yang terbuka, berharap dari baliknya terlihat sebuah rupa yang kunanti. Aku masih terfokus pada jendela di hadapanku, berharap kulihat mobil silver dengan plat yang ia sebutkan tadi singgah di pelataran.

Dari sebuah sudut, kulihat seorang dara dengan rambutnya yang panjang bergelombang –persis seperti yang ada di bayangku- turun dari mobil berwarna silver. Tapi rambutnya lepek. Ia basah kuyup, habis menikmati guyuran hujan, rupanya.

“Mbaak!!” aku berlari keluar dari pintu yang beberapa saat lalu kulepaskan dari perhatianku.

“Basah.” Keluhnya. Sebuah sabit yang kuharapkan muncul, tak terlukis di bibirnya.

“Masih sempat dikeringin dulu rambutnya, terus ganti baju.” Ucapku setelah mematut jam tangan di pergelangan tangan kananku.
“Hujan Yang Kau Kenalkan” seseorang mulai berbicara melalui microphone dalam genggamnya, “Novel duet karya Tiara Balqhis dan Tiara Khalisa.” Dengan lengkung yang mengembang sempurna di wajah, kami mengangguk hampir bersamaan.

“Duo Tiara, sepertinya. Hahaha.” Orang tadi terkekeh melihat nama kami yang mirip. Ini bukan hal yang istimewa, sudah sering aku bertemu dengan orang bernama sama.

“Itu biasa saja, yang luar biasa disini adalah pikiran yang saling bertautan merangkai kata.” Ungkap Tiara, bukan aku. Tapi dia.

“Dan, twitter yang mempertemukan kami adalah yang terbaik.” Aku menyela perkataannya, “Serta cinta yang menyelinap ke dalam aliran darah.”

“Alah.” Ucapnya. Orang-orang terlihat menahan tawa karena pembicaraan kami.

“Engga usah ditahan. Ketawa ajalah. Haha”


Karena aksara menjadi penyambung kita, dengan segala bentuk rangkaian yang menjadikan rasa kita melebur. Dan pertemuan itu, terjadi karena perantara satu langit yang menaungi kita. Langit yang setiap malam kutitipi do’a untuk seseorang nun jauh disana, yang kucinta.

Karena Tiara terindah, hanya milik kita
Untuk Tiara
Dariku yang selalu merangkai kata
Tiara







2 komentar:

  1. :')
    I'm not the perfect person. but I could love you like a perfect one. I swear. the way you shut up is the best to ignore them. just avoid with your own way, My Crown. Someday we will shine.. brighter than sunlight ever. Believe! and the miracle happen. :*
    From Your Far-Beloved-Sista
    TB

    BalasHapus
    Balasan
    1. MBAAK!! :* :* Walau tak ada yang sempurna, kau yang terbaaik!

      Hapus